Minggu, 31 Maret 2013

Program hilirisasi produk sawit

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai program hilirisasi produk kelapa sawit yang tengah digalakkan pemerintah masih berjalan setengah hati. Pasalnya hingga saat ini pemerintah hanya berencana membangun infrastruktur industri, tanpa merangsang perilaku para pengusaha untuk membangun industri pengolahan produk turunan kelapa sawit.

Bendaraha Gapki Sumut Laksamana Adyaksa mengatakan selama ini para pengusaha cenderung lebih suka melakukan perdagangan minyak sawit mentah (CPO), karena saat ini bea keluar yang dikutip pemerintah untuk minyak sawit mentah, masih sama dengan produk olahan. Sehingga karena tak mau direpotkan dengan sejumlah perijinan serta persoalan pengolahan, para pengusaha memilih untuk melakukan ekspor CPO.

“Untuk apa diolah, kalau ekspor CPO saja sudah menguntungkan. Makanya itu perlu ada pengaturan ulang terkait bea keluar. Pemerintah harusnya membebankan bea keluar yang berbeda secara signifikan antara CPO dan produk olahannya. Bea keluar untuk produk CPO harus dibuat lebih tinggi, sehingga dengan margin yang ada para pengusaha lebih mau mengolahnya terlebih dahulu.”Ujarnya pada Smart FM di Medan, Selasa (16/10/2012).

Laksamana menambahkan, dengan adanya rangsangan tersebut, pemerintah juga diuntungkan. Karena dengan sendirinya investasi industri pengolahan masuk, dan lapangan pekerjaan akan terbuka dengan lebih luas.

“Kalau bea keluarnya dinaikkan, tentunya investasi pembangunan pabrik yang menjadi pilihan. Tentunya ini akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Disamping itu, industri yang ada akan membuat sektor riil bergerak. Jadi ada efek dominonya, dibandingkan hanya diekspor mentah. Tapi kalau semua diserahkan pada pengusaha untuk memilih, tentunya pengusaha enggak mau repot.”Jelasnya.

Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Al Musawa menyatakan, mendukung percepatan hilirisasi produk hasil perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan prakiraan bahwa pada 2013 Indonesia menggeser India menjadi konsumen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.

"Bila apa yang diprakirakan itu terwujud, berarti proses hilirisasi produk kelapa sawit di Indonesia berjalan dengan baik," katanya di Banjarmasin, Rabu kepada wartawan yang tergabung dalam Journalist Parliament Community (JPC) Kalimantan Selatan, Rabu, menanggapi prediksi Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

Nabiel, legislator asal daerah pemilihan Kalsel dari Partai Keadilan Sejahtera itu mengungkapkan, berdasarkan prediksi DMSI, Indonesia akan menjadi konsumen CPO terbesar di dunia menggeser India pada tahun 2013.

Anggota Komisi IV DPR yang juga membidangi pertanian (termasuk perkebunan) itu mendukung bila pada 2013 Indonesia benar-benar menjadi konsumen CPO terbesar di dunia.

"Selain itu percepatan hilirisasi produk kelapa sawit itu bisa mengurangi angka kemiskinan di Indonesia," lanjut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) itu.

Pasalnya, menurut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan magister bidang pertanian itu, dengan percepatan hilirisasi tersebut berarti industri hilir kelapa sawit di Indonesia berkembang.

"Keberadaan industri tersebut bisa menyerap tenaga kerja yang lebih besar, hal itu berarti pula mengurangi pengangguran, sekaligus menurunkan angka kemiskinan," tandasnya.

Mengutip prediksi DMSI, ia mengungkapkan, pada 2012 tiga negara konsumen CPO terbesar di dunia, yaitu India 7,95 juta ton, Indonesia 7,87 juta ton dan China 6,4 juta ton per tahun.

Pada 2013 diprediksi konsumen CPO terbesar dunia, akan berubah menjadi Indonesia 9,2 juta ton, India 8,35 juta ton dan China 6,72 juta ton. Sementara perkiraan produksi sawit Indonesia 2013 mencapai 28 juta ton. 

Kalau melihat angka diatas, menurutnya, meski ada peningkatan konsumsi dalam negeri, namun konsumsi tersebut masih relatif kecil dibandingkan CPO yang keluar. 

Pemakaian CPO dalam negeri 9,2 juta ton, berarti sekitar 30 persen. Selebihnya 19 juta ton atau sekitar 70 persen diekspor.

"Kata mengekspor bahan mentah yang memiliki potensi nilai tambah tinggi sebanyak 19 juta ton. Oleh karena itu sangat disayangkan," keluhnya. (SHN-A013)