Desember 2012 lalu, GAPKI menuntut penghapusan moratorium Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Alasannya, kebijakan tersebut sangat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Tuntutan GAPKI cukup bikin cemas para pemerhati REDD+ di Indonesia. Kalau pengusaha menolak bergandeng tangan, bisa-bisa cerita REDD+ tak jauh dari perdebatan kenaikan upah buruh.
Ketiga pembicara (ki-ka) Jefri Gideon, Heru Prasetyo, dan Mubariq Ahmad didampingi moderator Wimar Witoelar |
Moratorium izin baru pemanfaatan lahan itu sendiri telah berlaku selama 2 tahun di bawah Instruksi Presiden Nomor 10/2011. “Inpres ini akan berakhir 20 Mei mendatang. Dan belum ada kepastian dari Presiden Yudhoyono,” kata Sita Supomo, Program Director of Sustainable Development Governance Kemitraan dalam temu “Moratorium Hutan untuk Tata Kelola Hutan yang Lebih Baik” (19/3). Maka, sebelum terlambat, sejumlah pemerhati REDD+ mengemukakan rekomendasi agar pemerintah memperpanjang jangka waktu moratorium menjadi 5 tahun.
Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+, Mubariq Ahmad menegaskan perlunya perpanjangan moratorium. “Kenapa perlu diperpanjang? Karena sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan belum siap,” ujarnya. Ia menilai, moratorium efektif mengurangi deforestasi sekaligus meningkatkan luasan tutupan hutan primer dan lahan gambut.
Keadaannya kini, luas lahan sawit yang aktif berproduksi adalah 9,4 juta hektar. Itu data dari pemerintah. Dibandingkan dengan data lembaga sosial Sawit Watch, luas lahan sawit aktif justru lebih besar. “Versi Sawit Watch, kebun sawit di Indonesia sampai melebihi 12 juta hektar. Produktivitasnya 25,2 juta ton per tahun, sedangkan konsumsi dalam negeri hanya 6 juta ton,” jelas Koordinator Sawit Watch, Jefri Gideon. Sisanya diserap oleh pasar luar negeri.
Industri hulu seperti perkebunan kelapa sawit sesungguhnya masih mengandung nilai tertinggi. “Nilainya paling tinggi karena butuh investasi dan lahan besar-besaran,” ungkap Mubariq. Trennya, value tanah pasti naik terus. Maka, perusahaan berlomba-lomba membeli tanah. “Ada yang beli dengan motif spekulasi sehingga menjadi land banking,” lanjutnya. Menurut Mubariq, dari sekian banyak perusahaan sawit, baru 1 yang bergerak di industri hilir.
Namun, benarkah perusahaan besar pasti bersikap negatif terhadap moratorium? Taipan Grup Triputra, Theodore Permadi Rachmat, pernah memuji langkah yang diambil Menteri Zulkifli Hasan ini. “Kementerian yang sekarang sudah bagus. Kebijakan moratorium konversi hutan merupakan langkah baik yang dilakukan Menteri Zulkifli Hasan,” katanya pada SWA dalam suatu wawancara khusus (4/2).
Artinya, tidak mustahil perusahaan menyesuaikan gerak bisnis dengan penerapan REDD+ ke depannya. Apalagi, pertumbuhan perkebunan sawit dan pertambangan tidak akan terhambat perpanjangan moratorium. “Izin tambang yang aktif masih cukup banyak. Di samping itu, masih ada 4 juta hektar lahan sawit baru yang paling cepat selesai ditanami dalam 10 tahun ke depan,” tegas Mubariq meyakinkan. (EVA)