Maraknya isu negatif menghambat pengembangan kelapa sawit. Padahal, saat ini kelapa sawit penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar.
Dengan raut wajah yang serius, pelaku perkebunan kelapa sawit yang juga ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPP) Kalteng, Teguh Patriawan menyampaikan kegundahannya akan maraknya isu negatif seputar kelapa sawit. Pagi itu, Teguh, dengan gemas memberikan fakta yang cukup menarik dalam menanggapi isu negatif tersebut. "Bagaimana mungkin luas areal kelapa sawit yang di Indonesia, yang cuma 8 juta ha ini dianggap merusak hutan." kata Teguh dengan nada tinggi.
Di seluruh dunia, lanjut Teguh, luas areal kelapa sawit hanya sekitar 15 juta ha. bandingkan dengan misalnya soybeans (kedelai) yang luasnya 104 juta ha, atau rapeseed, 32 juta ha, kan tidak sebanding.
Sebenarnya kalau diteliti lebih seksama kontribusi tanaman sawit terhadap lingkungan cukup besar. Pertama, minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling hemat akan pengunaan lahan, produktifitasnya 8-9 kali lebih banyak dibandingkan dengan minyak nabati yang lain. Kedua, memiliki potensi sebagai tanaman untuk reboisasi lahan-lahan terbuka dan terlantar yang tidak memiliki nilai ekonomi (potensi kayu) dan dan nilai konservasi. Dan yang ketiga, dalam beberapa kali penelitian, per ha. kebun sawit menyerap 36 ton CO 2 dibandingkan dengan hutan tropis yang hanya rata-rata menyerap 25 ton.
Kontribusi ekonomi juga cukup mengagumkan, selain menghasilkan devisa 15-16 juta US dollar setiap tahun, perkebunan kelapa sawit mampu mengerakkan perekonomian daerah-daerah terpencil. Selain itu mampu menyerap tenaga kerja 5 juta orang secara langsung dan 3 juta orang sebagai tenaga tambahan diluar kebun.
Selain itu, dalam hal energi, minyak kelapa sawit selain terbarukan juga sangat ramah terhadap lingkungan. Coba bandingkan dengan energi dari bahan bakar fosil. Limbah padat dan cair dapat digunakan sebagai sumber energi listrik dan substitusi pupuk organik yang ramah lingkungan, sehingga dapat mengurangi pencemaran.
Isu-isu negatif yang disebarkan, lanjut Teguh, sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, coba bandingkan dengan HPH atau HTI yang sudah ada sejak orde baru. Karena itu, Teguh berharap, masyrakat jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya.
Minyak sawit juga berkontribusi menyediakan kebutuhan pangan dunia. Murahnya harga minyak sawit dibandingkan minyak nabati lain merupakan keunggulan minyak sawit. Jadi, terbukti perrkebunan kelapa sawit lebih produktif dan efisien.
Data Oil World menyebutkan, untuk memproduksi 4,2 ton minyak sawit mentah dibutuhkan biaya produksi US$ 250. Sedangkan untuk memproduksi satu ton rapeseed oil, dibutuhkan biaya produksi US$ 375. Biaya produksi soyabean oil dan sunflower oil lebih tinggi lagi.
Patrick Moore. PhD, salah satu pendiri Greenpeace, mengungkapkan sejumlah fakta yang menarik. Setiap hari 6 milyar manusia bangun dengan tantangan akan kebutuhan riil, untuk makanan energi, lahan dan bahan-bahan yang lain. Semuanya itu akan mengancam kelestarian alam. Tantangan adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan tersebut tanpa merusak lingkungan? Memotong kayu saja sebenarnya tidak cukup merusak lingkungan, masalah sebenarnya adalah setelah hutan tersebut ditebang, musnah untuk selamanya atau akan ditanami kembali.
Masyarakat eropa dan AS, lanjut Moore, selalu berpendapat bahwa hutan Indonesia dan Malaysia rusak berat. Padahal kenyataaanya 40% hutan alam Australia telah berubah menjadi lahan pertanian. Juga terhadap hutan AS, lebih dari 40% telah dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian.
Bagaimana dengan kondisi Kalimantan Tengah (Kalteng)? Landasan dan sudut pandang antara Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbeda, membuat penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) hingga saat ini masih belum terselesaikan. Pembentukan Tim Terpadu untuk menyusun RTRWP dan pembahasan di DPR RI masih juga menyisakan masalah yang belum terpecahkan. Sementara itu degradasi hutan dan pembangunan daerah tidak dapat ditunda.Teguh menjelaskan sambil memperlihatkan foto-foto hutan sebelum di bangun perkebunan sawit yang sudah kritis. Akibat persoalan itu, maka pembahasan RTRWP Kalteng sulit mencapai titik temu.
Sambil menerawang jauh, Teguh Patriawan berharap, semestinya RTRWP Kalteng ke depan nantinya benar-benar dapat memperhatikan kepentingan daerah, sebab daerahlah yang lebih berkepentingan terhadap pengembangan dan pembangunan wilayah mereka. ‘’Kalau kita dibatasi, bagaimana dapat mengelola daerah untuk menggali potensi-potensi daerah yang dapat menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Tanpa RTRWP, lanjut Teguh, Pemerintah Daerah (Pemda) akan mengalami kesulitan dalam memberikan lahan yang prosedural.Ini dikarenakan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) yang sudah berlaku sejak 1982 dirasa sudah tidak mencukupi lagi untuk pengembangan wilayah dan pembangunan. Selain itu RTRWP juga merupakan payung hukum bagi pemda untuk memberikan lahan dan juga memberikan kepastian bagi investor.
Sebenarnya, pernah ada solusi dalam menyelesaikan persoalan lahan perkebunan kelapa sawit ini, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI). Yang salah satu isinya menyebutkan bahwa tanaman sawit merupakan tanaman hutan. Di Malaysia, kenapa nggak ribut-ribut, karena mereka memasukan sawit menjadi tanaman kehutanan. Namun sayangnya peraturan Menhut tak bertahan lama karena mendapat kecaman dari Greenpeace dan Walhi. Peraturan ini dianggap dapat melegalkan operasi perkebunan sawit ilegal.
Selanjutnya dalam menanggapi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007, yang mengatur perusahaan perkebunan wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling seluas 20 persen dari total luas areal kebun, pengusaha kelapa sawit di Kalteng, tidak mempermasalahkan itu, yang penting pemerintah komitmen membantu pengembangan kelapa sawit. "Jangan nilai tambahnya diambil tapi begitu ada permasalahan pemerintah lepas tangan," pungkasnya.
Dengan raut wajah yang serius, pelaku perkebunan kelapa sawit yang juga ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPP) Kalteng, Teguh Patriawan menyampaikan kegundahannya akan maraknya isu negatif seputar kelapa sawit. Pagi itu, Teguh, dengan gemas memberikan fakta yang cukup menarik dalam menanggapi isu negatif tersebut. "Bagaimana mungkin luas areal kelapa sawit yang di Indonesia, yang cuma 8 juta ha ini dianggap merusak hutan." kata Teguh dengan nada tinggi.
Di seluruh dunia, lanjut Teguh, luas areal kelapa sawit hanya sekitar 15 juta ha. bandingkan dengan misalnya soybeans (kedelai) yang luasnya 104 juta ha, atau rapeseed, 32 juta ha, kan tidak sebanding.
Sebenarnya kalau diteliti lebih seksama kontribusi tanaman sawit terhadap lingkungan cukup besar. Pertama, minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling hemat akan pengunaan lahan, produktifitasnya 8-9 kali lebih banyak dibandingkan dengan minyak nabati yang lain. Kedua, memiliki potensi sebagai tanaman untuk reboisasi lahan-lahan terbuka dan terlantar yang tidak memiliki nilai ekonomi (potensi kayu) dan dan nilai konservasi. Dan yang ketiga, dalam beberapa kali penelitian, per ha. kebun sawit menyerap 36 ton CO 2 dibandingkan dengan hutan tropis yang hanya rata-rata menyerap 25 ton.
Kontribusi ekonomi juga cukup mengagumkan, selain menghasilkan devisa 15-16 juta US dollar setiap tahun, perkebunan kelapa sawit mampu mengerakkan perekonomian daerah-daerah terpencil. Selain itu mampu menyerap tenaga kerja 5 juta orang secara langsung dan 3 juta orang sebagai tenaga tambahan diluar kebun.
Selain itu, dalam hal energi, minyak kelapa sawit selain terbarukan juga sangat ramah terhadap lingkungan. Coba bandingkan dengan energi dari bahan bakar fosil. Limbah padat dan cair dapat digunakan sebagai sumber energi listrik dan substitusi pupuk organik yang ramah lingkungan, sehingga dapat mengurangi pencemaran.
Isu-isu negatif yang disebarkan, lanjut Teguh, sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, coba bandingkan dengan HPH atau HTI yang sudah ada sejak orde baru. Karena itu, Teguh berharap, masyrakat jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya.
Minyak sawit juga berkontribusi menyediakan kebutuhan pangan dunia. Murahnya harga minyak sawit dibandingkan minyak nabati lain merupakan keunggulan minyak sawit. Jadi, terbukti perrkebunan kelapa sawit lebih produktif dan efisien.
Data Oil World menyebutkan, untuk memproduksi 4,2 ton minyak sawit mentah dibutuhkan biaya produksi US$ 250. Sedangkan untuk memproduksi satu ton rapeseed oil, dibutuhkan biaya produksi US$ 375. Biaya produksi soyabean oil dan sunflower oil lebih tinggi lagi.
Patrick Moore. PhD, salah satu pendiri Greenpeace, mengungkapkan sejumlah fakta yang menarik. Setiap hari 6 milyar manusia bangun dengan tantangan akan kebutuhan riil, untuk makanan energi, lahan dan bahan-bahan yang lain. Semuanya itu akan mengancam kelestarian alam. Tantangan adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan tersebut tanpa merusak lingkungan? Memotong kayu saja sebenarnya tidak cukup merusak lingkungan, masalah sebenarnya adalah setelah hutan tersebut ditebang, musnah untuk selamanya atau akan ditanami kembali.
Masyarakat eropa dan AS, lanjut Moore, selalu berpendapat bahwa hutan Indonesia dan Malaysia rusak berat. Padahal kenyataaanya 40% hutan alam Australia telah berubah menjadi lahan pertanian. Juga terhadap hutan AS, lebih dari 40% telah dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian.
Bagaimana dengan kondisi Kalimantan Tengah (Kalteng)? Landasan dan sudut pandang antara Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbeda, membuat penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) hingga saat ini masih belum terselesaikan. Pembentukan Tim Terpadu untuk menyusun RTRWP dan pembahasan di DPR RI masih juga menyisakan masalah yang belum terpecahkan. Sementara itu degradasi hutan dan pembangunan daerah tidak dapat ditunda.Teguh menjelaskan sambil memperlihatkan foto-foto hutan sebelum di bangun perkebunan sawit yang sudah kritis. Akibat persoalan itu, maka pembahasan RTRWP Kalteng sulit mencapai titik temu.
Sambil menerawang jauh, Teguh Patriawan berharap, semestinya RTRWP Kalteng ke depan nantinya benar-benar dapat memperhatikan kepentingan daerah, sebab daerahlah yang lebih berkepentingan terhadap pengembangan dan pembangunan wilayah mereka. ‘’Kalau kita dibatasi, bagaimana dapat mengelola daerah untuk menggali potensi-potensi daerah yang dapat menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Tanpa RTRWP, lanjut Teguh, Pemerintah Daerah (Pemda) akan mengalami kesulitan dalam memberikan lahan yang prosedural.Ini dikarenakan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) yang sudah berlaku sejak 1982 dirasa sudah tidak mencukupi lagi untuk pengembangan wilayah dan pembangunan. Selain itu RTRWP juga merupakan payung hukum bagi pemda untuk memberikan lahan dan juga memberikan kepastian bagi investor.
Sebenarnya, pernah ada solusi dalam menyelesaikan persoalan lahan perkebunan kelapa sawit ini, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Berbagai Jenis pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK/HTI). Yang salah satu isinya menyebutkan bahwa tanaman sawit merupakan tanaman hutan. Di Malaysia, kenapa nggak ribut-ribut, karena mereka memasukan sawit menjadi tanaman kehutanan. Namun sayangnya peraturan Menhut tak bertahan lama karena mendapat kecaman dari Greenpeace dan Walhi. Peraturan ini dianggap dapat melegalkan operasi perkebunan sawit ilegal.
Selanjutnya dalam menanggapi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007, yang mengatur perusahaan perkebunan wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling seluas 20 persen dari total luas areal kebun, pengusaha kelapa sawit di Kalteng, tidak mempermasalahkan itu, yang penting pemerintah komitmen membantu pengembangan kelapa sawit. "Jangan nilai tambahnya diambil tapi begitu ada permasalahan pemerintah lepas tangan," pungkasnya.
Isu tentang kelapa sawit selalu ada mulai dari pengrusakan hutan, merusak ekosistem, merusak sosial ekonomi masyarakat setempat dan lain-lain isu -isu ini telah mendunia bahkan dengan opini yang sangat gencar tentang hal-hal yang negatif tentang kelapa sawit maka sudah terbentuk persepsi negatif tentang kelapa sawit ini bisa dilihat terjadinya isu negatif tentang kesehatan dan kandungan nutrisi dari produk kelapa sawit yang terjadi di Eropa tepatnya di Belanda hal ini merupakan akumulasi dari berbagai isu yang terjadi.
Kalau sedikit membandingkan dengan komoditi kedelai justru pemberitaan negatif tentang komoditi ini hampir tidak ada. Setiap tahunnya Indonesia mengimpor hampir 60% kedelai dari Amerika Serikat untuk memenuhi pasokan dalam negeri dan untuk menstabilkan harga kedelai. Padahal untuk membuat lahan pertanian kedelai di Amerika Serikat justru juga menghabiskan hutan-hutan di Amerika Serikat dan Hutan amazon di Brasil untuk pembukaan lahan pertanian kedelai bahkan untuk menghasilkan minyak yang sama dengan kelapa sawit lahan kedelai harus membuka seluas 8 kali lipat. Namun pernahkah kita mendengar bahwa produk kedelai diganjal ekspornya ke suatu negara karena isu merusak lingkungan.
Kalau kita mengetik di “mbah google” dengan kata kunci ” isu negatif kedelai atau kampanye negatif kedelai” maka hasilnya akan lebih banyak link tentang isu negatif dari kelapa sawit. Kelapa sawit dan kedelai merupakan komoditi yang sama-sama menghasilkan minyak namun persepsi kedua komoditi ini terutama di dunia internasional sangat berbeda. Kalau seandainya kelapa sawit di hasilkan di Amerika Serikat dan Indonesia jadi pengekspor kedelai, pasti persepsi yang muncul justru akan berbeda.
Pemerintah Amerika Serikat sangat melindungi petani kedelainya sehingga segala daya upaya di lakukan untuk melindungi keberlangsungan pertanian kedelai sedangkan Indonesia peran pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik, usaha kampanye tentang kelapa sawit lebih banyak di lakukan oleh organisasi -organisasi kelapa sawit padahal sekarang 45% produksi kelapa sawit oleh Indonesia atau produsen CPO terbesar nomor 1 di dunia namun justru Indonesia tidak bisa mengendalikan harga kelapa sawit di dunia. Jadi isu-isu negatif tentang kelapa sawit sebenarnya tidak terlepas dari “perang dagang” yang di lakukan oleh setiap negara untuk melindungi keberlangsungan pertaniannya.
Kalau sedikit membandingkan dengan komoditi kedelai justru pemberitaan negatif tentang komoditi ini hampir tidak ada. Setiap tahunnya Indonesia mengimpor hampir 60% kedelai dari Amerika Serikat untuk memenuhi pasokan dalam negeri dan untuk menstabilkan harga kedelai. Padahal untuk membuat lahan pertanian kedelai di Amerika Serikat justru juga menghabiskan hutan-hutan di Amerika Serikat dan Hutan amazon di Brasil untuk pembukaan lahan pertanian kedelai bahkan untuk menghasilkan minyak yang sama dengan kelapa sawit lahan kedelai harus membuka seluas 8 kali lipat. Namun pernahkah kita mendengar bahwa produk kedelai diganjal ekspornya ke suatu negara karena isu merusak lingkungan.
Kalau kita mengetik di “mbah google” dengan kata kunci ” isu negatif kedelai atau kampanye negatif kedelai” maka hasilnya akan lebih banyak link tentang isu negatif dari kelapa sawit. Kelapa sawit dan kedelai merupakan komoditi yang sama-sama menghasilkan minyak namun persepsi kedua komoditi ini terutama di dunia internasional sangat berbeda. Kalau seandainya kelapa sawit di hasilkan di Amerika Serikat dan Indonesia jadi pengekspor kedelai, pasti persepsi yang muncul justru akan berbeda.
Pemerintah Amerika Serikat sangat melindungi petani kedelainya sehingga segala daya upaya di lakukan untuk melindungi keberlangsungan pertanian kedelai sedangkan Indonesia peran pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik, usaha kampanye tentang kelapa sawit lebih banyak di lakukan oleh organisasi -organisasi kelapa sawit padahal sekarang 45% produksi kelapa sawit oleh Indonesia atau produsen CPO terbesar nomor 1 di dunia namun justru Indonesia tidak bisa mengendalikan harga kelapa sawit di dunia. Jadi isu-isu negatif tentang kelapa sawit sebenarnya tidak terlepas dari “perang dagang” yang di lakukan oleh setiap negara untuk melindungi keberlangsungan pertaniannya.
Penurunan harga kelapa sawit hanya karena isu negatif kelapa sawit akan memberikan efek domino bagi perekonomian Indonesia, menurut pengamatan sekitar 3 bulan yang lalu ketika harga kelapa sawit jatuh atau rendah terutama di Pulau Sumatera yang banyak kelapa sawit rakyat maka terjadi kelesuan ekonomi di mana pasar menjadi sepi, pembayaran kredit motor macet, omset pedagang turun dan efek ekonomi yang lain.