Senin, 04 Maret 2013

Lahan Gambut Bukan untuk Kebun Sawit





Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan yang tidak seharusnya dijadikan lahan perkebunan semakin sulit terbendung. Lahan gambut yang memiliki fungsi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, tak luput dari ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab. Lebih dari 62.000 hektare lahan gambut tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, sekitar 40.000 hektare kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Di tengah besarnya ancaman bencana, mata publik harus diperlihatkan kepada fakta bahwa bahaya kerusakan lahan gambut akan sangat merugikan karena itu, tidaklah tepat jika perkebunan kelapa sawit dibiarkan beroperasi di lahan gambut.


Hal tersebut dikemukakan oleh Adji Darsoyo, selaku Communication & Fundraising Coordinator PAN Eco – Yayasan Ekosistem Lestari kepada MedanBisnis. Menurutnya, saat ini terjadi ancaman yang sangat besar terhadap keberadaan lahan gambut khususnya yang berada di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Dikatakannya, kerusakan hutan rawa tripa yang merupakan lahan gambut sudah sangat parah. Dari total luasan lahan gambut yang mencapai lebih dari 62.000 hektare, tak kurang dari  40.000 hektarenya sudah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang beroperasi sejak tahun 1990-an yang mana setiap perusahaan memiliki konsesi puluhan ribu hektare.

“Mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit akan sangat mengancam keseimbangan ekosistem. Akan sangat banyak kerugian yang harus ditanggung jika lahan gambut itu rusak,” katanya.

Ia mengungkapkan, kerusakan lahan gambut tripa disebabkan oleh beroperasinya 5 perusahaan besar yang menyulapnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal, lahan gambut merupakan suatu kawasan yang berfungsi sebagai pelindung dari terjadinya bencana tsunami, habitat ribuan satwa langka dan dilindungi, kawasan resapan air yang mengatur ketersediaan sumber air sekitar.

Di sisi lain, lahan gambut juga merupakan kawasan yang jika terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan. “Dampak dari keberadaan perkebunan kelapa sawit hingga sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat, dengan terjadinya banjir yang sebelum adanya perkebunan tidak pernah terjadi,” ungkapnya.

Ia mengungkapkan, hingga kini, tingkat deforestasi atau berkurangnya fungsi gambut di kawasan tersebut sudah mencapai 70%. Dengan demikian menuntut tindakan yang cepat untuk menghentikan perusakan lahan gambut agar tidak berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

“Lahan gambut ini juga sebagai buffer atau pelindung dari masuknya gelombang tsunami ke darat, berdasarkan peta satelit, di salah satu kawasan yang sudah menjadi perkebunan kelapa sawit dan perusahaannya membuat kanal ke laut, ternyata saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu, gelombang tsunami sangat jauh masuk ke daratan, pintunya dari kanal yang dibuat oleh perusahaan tersebut,” katanya.

Sebenarnya, lanjut Adji, Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terdahulu sebagai daerah transmigrasi. Masyarakat transmigran menjadikan lahan gambut sebagai tempat untuk mencari penghidupan. Hasil hutan dan laut yang diperoleh semisal rotan, ikan lokan (lele raksasa), madu hutan dan lainnya. Namun seiring beroperasinya perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, menjadikan pendapatan masyarakat menurun karena tidak bisa memperoleh hasil dari hutan rawa gambut lagi. “Bahkan di saat hujan sebentar saja langsung kebanjiran,” katanya.

Sebagian masyarakat yang melihat potensi perkebunan, kemudian terdorong untuk ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit atau memulai menanamnya di depan rumahnya. Menurutnya, jika hal tersebut dibiarkan tanpa adanya perhatian agar melindungi lahan gambut, maka dalam waktu yang tidak lama lahan gambut akan semakin habis. Dengan demikian harus masyarakat harus ditunjukkan kepada fakta bahwa jika lahan gambut dirusak dan dialihkan fungsinya menjadi perkebunan kelapa sawit maka akan sangat banyak kerugian yang akan dialami oleh masyarakat.

Begitu juga harus ditunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bisa akan jauh lebih baik jika ditanam di darat dan bukannya di lahan gambut.

Ia menerangkan, untuk itu, pihaknya kemudian membuat proyek percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang tidak menggunakan lahan gambut melainkan memanfaatkan lahan tidur dan memberdayakan petani. Maka kemudian dipilihlah lahan tidur yang  berdekatan di rawa tripa, tepatnya di Desa Lamie dan Dusun Gagak Kabupaten Nagan Raya dengan total areal mencapai 100 hektare. “Secara rincinya di Lamie seluas 67 hektare dan Dusun Gagak 23 hektare, lahan tersebut dibagi dalam 71 kavling yag dikelola oleh 60 petani, 48 orang petani di Lamie dan 12 orang di Gagak,” katanya.

Tujuan utama dari proyek percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tersebut tidak lain adalah menunjukkan kepada publik bahwa tidak seharusnya kelapa sawit ditanam di lahan gambut. Selain itu bahwa lahan gambut akan sangat bermanfaat jika dibiarkan sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian lahan gambut tripa bisa terbebas dari ancaman perkebunan kelapa sawit dan masyarakat bisa lebih memanfaatkan lahan tidur yang selama ini tidak dimanfaatkan.

Menurutnya, pihaknya menemukan bahwa di luar perusahaan yang mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit juga ada sekelompok masyarakat yang ingin mengusahakan kelapa sawit. Namun dorongan tersebut utamanya disebabkan karena tidak bisa memanfaatkan lahan tidur yang dimilikinya sementara keinginan untuk meningkatkan pendapatan juga tidak mungkin dihindari. “Intinya adalah, jika memang menghendaki perkebunan kelapa sawit silakan tapi tidak di lahan gambut,” ungkapnya.