Minggu, 28 April 2013

Fin Komodo: Mitra Tangguh di Tambang dan Kebun

TANGGUH: Tubuh mungil tapi aksi garang di medan ekstrem dan terjal siap ditunjukkan Fin Komodo. (Oki nutricahyo/kp)

BALIKPAPAN - Setelah hadir di sejumlah kota besar di Tanah Air, kini, Fin Komodo juga hadir di Benua Etam. “Kami sangat optimistis dengan pasar Kalimantan, karena kendaraan ini memang sangat sesuai dengan geografis Kaltim. Selain itu, bagi mereka yang hobi dengan kegiatan off road juga sangat banyak, sehingga kami yakin bisa diterima masyarakat Kaltim,” ungkap General Manager PT Rayy Empat Pilar Bahri.

Fin Komodo merupakan kendaraan jenis Off road Utility Vehicle yang sangat cocok dipergunakan di medan ekstrem. Fin Komodo menggunakan mesin 4 stroke 250 CC bertransmisi automatic dengan horse power sebesar 14HP di 7500 rpm dan torsi sebesar 17,6Nm/5500 rpm.

Spesifikasi Fin Komodo tersebut sudah memadai untuk keperluan off road, itu sebabnya, Fin Komodo sangat cocok digunakan di area perkebunan, hutan dan tambang. “Selain itu, FIN Komodo juga telah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan yang akan menggunakan FIN Komodo,” lanjutnya.

Fin Komodo yang 100 persen karya dan buatan anak bangsa Indonesia ini sudah meraih beberapa penghargaan di antaranya “Marketeers Award 2010, Anugrah Apresiasi inovasi Indonesia 2011 dan Penghargaan Rintisan Teknologi Industri 2012 dari kementerian perindustrian”.

Yang merupakan originalitas dari Fin Komodo ialah rancang bangun kendaraan (chassis & body) dan sistem suspensi, sehingga Fin Komodo sangat nyaman dikendarai di medan off road.

PT. Rayy Empat Pilar selaku distributor tunggal di Kalimantan Timur tidak main–main dalam menggarap pasar. Selain mengincar segmen korporasi, pasar retail ataupun individual pun akan dimaksimalkan.

“Sejauh ini sudah ada beberapa orang yang memesan kepada kami, kebanyakan dari mereka adalah pengusaha yang punya hobi off road,” katanya.

Keseriusan PT. Rayy Empat Pilar ini diwujudkan dengan akan menyediakannya sirkuit/arena off road dan wadah komunitas off roader Fin Komodo di Kaltim.

Selain itu PT. Rayy Empat Pilar akan senantiasa aktif memperkenalkan Fin Komodo di kalangan lebih meluas di Kaltim, seperti yang saat ini dilakukan yakni menggelar exhibition Fin Komodo di mall e-Walk Balikpapan SuperBlock (BSB) yang digelar mulai tanggal 24 – 29 April 2013.

Untuk urusan harga, FIN KD 250 AT dibanderol mulai Rp 95 juta.

Diharapkan kehadiran Fin Komodo di Kaltim dapat menambah wahana baru bagi pecinta otomotif di Kaltim, khususnya off roader dan dapat dipertimbangkan sebagai kendaraan operasional bagi pengusaha perkebunan, tambang dan lainnya.

“Sudah selayaknya kita sebagai anak bangsa, bangga dengan hasil karya anak bangsanya sendiri. Dan bentuk kebanggaan itu diwujudkan dengan mencintai dan mempergunakan produk Indonesia dalam keseharian kita,” pungkas Bahri. (*/hul/lhl/k1)

Kamis, 18 April 2013

Singapura Terus Membuka Hutan Usai Ratakan Habitat Orangutan Kalimantan

Pembukaan jalan untuk perkebunan kelapa sawit oleh Bumitama Agri.
Sejak kasus penebangan habitat orangutan di hutan berkategori high conservation value forest oleh perkebunan kelapa sawit PT Bumitama Agri Limited dibuka ke publik sejak Maret 2013 silam, dan disusul dengan evakuasi 4 individu orangutan kelaparan dari wilayah penebangan perusahaan milik Singapura ini, hingga kini perusahaan tersebut belum menghentikan operasi penebangan mereka. Keempat orangutan ini diselamatkan dari perkebunan PT Ladang Sawit Mas yang merupakan anak perusahaan Bumitama Agri di Ketapang, Kalimantan Barat.

Kasus ini sendiri saat ini tengah dilaporkan kepada lembaga Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk diselidiki lebih lanjut atas laporan yang disampaikan oleh Centre for Orangutan Protection (COP) ini. Dalam email balasan yang disampaikan oleh Manajer Pengaduan RSPO, Ravin Krishnan kepada pihak COP, pihaknya menjelaskan bahwa saat ini Bumitama masih belum memberikan penjelasan detail atas tuduhan yang dilayangkan terhadap mereka. Dalam surat tersebut, Ravin Krishnan juga menjelaskan bahwa pihaknya telah meminta Bumitama untuk menjawab tuduhan itu. Selain itu, Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO dikabarkan terlibat secara personal dalam proses penyusunan jawaban yang dibuat oleh Bumitama Agri dan diharapkan hasil dari pembicaraan ini akan bisa diketahui akhir pekan ini.

Namun, pihak COP, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) dan International Animal Rescue (IAR) yang juga ikut dalam proses penyelamatan empat orangutan yang habitatnya digunduli oleh Bumitama Agri, mendesak agar selama proses ini Bumitama menghentikan penebangan dan operasi mereka di lapangan agar mencegah jatuhnya korban satwa liar dan dilindungi lebih banyak lagi.

Dalam pernyataan media mereka, Direktur Eksekutif COP, Hardi Baktiantoro meminta agar pembabatan hutan ini dihentikan. “Kami menilai bahwa Bumitama tidak pernah serius berkomitmen untuk turut melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia. Mereka mengelabuhi tim penyelamat di lapangan dengan memberikan arahan keliru mengenai lokasi translokasi orangutan. Perusahaan Singapura ini juga terindikasi kuat sedang mengancam orangutan di Tumbang Koling dan buffer zone Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Laporan kami kirimkan ke Kementerian Kehutanan untuk mengusut dugaan – dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Bumitama, konsultan dan kontraktornya. Laporan juga dikirimkan ke Sekretariat RSPO agar Bumitama bisa dipecat dari keanggotaan RSPO,” ungkap Hardi dalam rilis medianya.

Selain di Ketapang, Bumitama Agri juga sudah meratakan habitat orangutan di Desa Tumbang Koling, Kecamatan Cempaga Hulu, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Desa Tumbang Koling mulai diratakan oleh Bumitama Agri Limited sejak 25 Februari 2013 silam, setelah sebelumnya sudah diratakan oleh anak perusahaan mereka PT Nabatindo sejak 2012 silam. Dari hasil survey keragaman hayati di wilayah ini yang dilakukan oleh Centre for Orangutan Protection, Jakarta Animal Aid Network dan Friends of the National Park, kawasan berhutan ini menjadi habitat bagi 11 jenis mamalia, 34 jenis tumbuhan dan 11 jenis kupu-kupu, serta tanaman obat yang menjadi sumber kesehatan bagi masyarakat adat setempat. Beberapa satwa utama yang ada di kawasan ini adalah beruang madu (Helarctos malayanus), Owa (Hylobates sp) dan kukang (Nycticebus coucang).

Bumitama Agri sendiri adalah anggota RSPO dengan nomor anggota 1-0043-07-000-00, yang mendapat izin untuk menebang di lokasi Desa Tumbang Koling ini berdasar Izin lokasi dan Hak Guna Usaha dari Bupati Kotawaringin Timur No. 803/460.42 tanggal 15 Agustus 2005 dan No. 525.26/678/EKBANG/2005 tanggal 28 November 2005 dengan total konsesi seluas 11.000 hektar. Perizinan ini awalnya diberikan kepada PT Nabatindo Karya Utama, namun selanjutnya Nabatindo dibeli oleh Bumitama Agri Ltd, yang berbasis di Singapura dan terdaftar secara sah di Singapura.

Orangutan di Kalimantan adalah satu-satunya primata besar yang hidup di luar benua Afrika, dan kini tinggal tersisa sekitar 50.000 ekor di Kalimantan dari data yang dimiliki Departemen Kehutanan. Ancaman yang terbesar terhadap habitat orangutan adalah alihfungsi lahan untuk perkebunan, terutama kelapa sawit, dan pertambangan.

Rabu, 17 April 2013

Sertifikasi Kelapa Sawit

Minyak sawit Indonesia tengah menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor terbesar, tetapi juga karena tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan minyak sawit yang dihasilkan melalui pengelolaan yang lestari.

Isu kelestarian bukanlah hal yang mudah disepakati semua pihak, begitu pun mengenai cara pembuktiannya. Namun, semua pihak akan bersepakat bahwa pilar utama yang menyokong kelestarian adalah adanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.
 
WWF-Indonesia sebagai organisasi lingkungan yang telah berkiprah selama 50 tahun di Indonesia, memiliki tanggung jawab sebagai bagian komponen bangsa untuk membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang mengandung tiga pilar tersebut. Salah satu misi WWF di Indonesia adalah mempromosikan pelestarian bagi kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. WWF memandang bahwa masyarakat semestinya menjadi penerima manfaat (beneficiary) utama dari pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Manfaat tersebut tentu saja tidak hanya berupa manfaat yang kasat mata atau tangible, tetapi juga manfaat lain dalam bentuk produk dan jasa lingkungan bagi masyarakat yang tak terhitung harganya. Hal ini menjadi landasan pemikiran bagi WWF-Indonesia dalam mendorong praktik minyak sawit berkelanjutan.  

Tantangan industri kelapa sawit vis-a-vis deforestasi
Pengembangan perkebunan sawit pada lahan-lahan yang  telah terdegradasi merupakan tantangan tersendiri bagi industri sawit Indonesia. Pengembangan sawit semestinya tidak dilakukan pada kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi --seperti pada lahan gambut, hutan primer dan kawasan dengan populasi satwa-satwa langka yang dilindungi, melainkan hanya pada lahan-lahan yang secara ekologi telah terdegradasi. 

Kegagalan dalam menerapkan prinsip tersebut kerap menyebabkan industri sawit dituding sebagai penyebab timbulnya deforestasi dan kerusakan keanekaragaman hayati. Hal ini pula yang kadang menjadi sumber “ketegangan” antara banyak pihak. Tak jarang organisasi lingkungan pun dituding menyebarkan kampanye hitam demi menguntungkan kepentingan asing.  

WWF-Indonesia meyakini bahwa pembangunan ekonomi selalu dapat berjalan seiring dengan prinsip-prinsip keberlanjutan baik lingkungan maupun sosial. WWF meminta kepada pelaku usaha agar pengembangan kelapa sawit hanya dilakukan pada lahan-lahan yang terlantar atau terdegradasi, dan bukan dengan mengorbankan hutan alam atau lahan gambut sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan daya dukung kehidupan. Dengan mengakomodir aspek-aspek lingkungan dan sosial, termasuk pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat lokal dan penduduk asli, WWF percaya bahwa pelaku usaha tetap dapat memenuhi target produksi melalui optimalisasi produktivitas lahan.
 
Standardisasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) mencakup persyaratan pelindungan area bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) merupakan indikator kunci diterapkannya prinsip keberlanjutan pada industri minyak sawit. RSPO dibangun dengan pemahaman bersama dari para pihak yang terkait dalam rantai pasok minyak sawit. Mekanismenya dibangun dan dijalankan melalui konsensus para pihak dalam menentukan standard-standard yang akan diterapkan pada sistem sertifikasi. 

WWF-Indonesia menyambut baik kebijakan pemerintah yang telah menetapkan ISPO pada 2011 sebagai mekanisme wajib bagi pelaku usaha untuk pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki komitmen kuat terhadap industri sawit yang lestari. Diterapkannya ISPO sebagai aturan wajib dari pemerintah juga merupakan indikasi pengaruh positif yang dibawa RSPO sejak aktif berdirinya asosiasi non-profit dan sukarela tersebut  pada 2004.

Dengan mengaplikasikan RSPO dan ISPO, harapannya kedua skema tersebut dapat mendukung komitmen Pemerintah khususnya komitmen Pemerintah RI untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (bussines as usual/BAU).
 
Presiden SBY dalam pidatonya, seperti yang dikutip dan disampaikan kembali oleh Ketua Umum GAPKI Joefly J. Bahroeny pada perayaan "Semarak 100 Tahun Industri Kelapa Sawit Indonesia" di Medan 29 Maret 2011, meminta agar Indonesia benar-benar berkomitmen dalam menerapkan prinsip green development (sustainability) dalam operasional perusahaan. Presiden bahkan menyatakan siap berdiri paling depan dan pasang badan dalam membela kepentingan industri nasional termasuk industri kelapa sawit, terutama atas berbagai tuduhan yang tidak benar dari dunia internasional. Namun demikian, Presiden mengharapkan agar para pelaku usaha benar-benar mematuhi berbagai ketentuan dan peraturan pemerintah yang berlaku. Sistem RSPO dan ISPO yang menitikberatkan kepada operasional pelaku usaha sawit mempunyai peranan penting terhadap tercapainya imbauan ini. Keduanya sama-sama dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa minyak sawit diproduksi dengan menerapkan prinsip sustainability yang memperhatikan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Pasar Sawit yang Lestari

Pasar Indonesia sudah bergerak maju menuju prinsip kelestarian. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa produser sawit Indonesia saat ini mendominasi suplai kelapa sawit yang bersertifikasi ramah lingkungan RSPO atau RSPO Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global. Persentasi suplai CSPO dari Indonesia yakni 50% dari CSPO global adalah dari Indonesia sudah melebihi negara tetangga Malaysia dan jumlahnya mencapai hampir setengah dari total suplai di pasar global. Jika pemerintah dan produsen Indonesia melihat  kondisi ini sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, maka Indonesia perlu lebih serius menjaga konsistensi dan kredibilitas yang sudah terbangun.

Kerja sama dan sinergi para pihak termasuk pemegang kebijakan, pengusaha, LSM, petani, serta masyarakat sangat diperlukan demi keberlanjutan masa depan sawit dan perekonomian Indonesia. Semangat nasionalisme ini tidak hanya berarti menjunjung tinggi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, tetapi juga artinya mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan di Bumi demi masa depan anak cucu dan negara yang kita cintai.

Peran Petani Swadaya Dalam Transformasi Pasar

Kelapa sawit merupakan komoditi dominan di dalam sektor perkebunan di Indonesia, dengan luasan 9,27 juta hektar dan produksi mencapai 23,633 juta ton per tahun. Sekitar 45% nya merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat (Kementan, 2010).  Berdasarkan data, di Provinsi Riau dari total luasan 2.1 juta hektar perkebunan kelapa sawit; 1,1 juta hektar dimiliki oleh petani, dan sebesar 76% dari luasan tersebut dimiliki oleh petani kelapa sawit swadaya (Disbun Riau, 2011). Figur ini menggambarkan bahwa petani mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Luasnya lahan sawit yang dikelola oleh petani swadaya belum menghasilkan hasil produksi yang baik dan maksimal, sehingga petani mempunyai tendensi untuk memperluas lahan kebunnya. 

Kondisi di lapangan menunjukkan, kawasan hutan baik lindung maupun produksi masih menjadi sasaran perluasan kebun sawit petani swadaya. Salah satunya fakta yang terjadi di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, Riau. Dari total luas kawasan TN 83 ribu hektar, sekitar 30 ribu hektar telah dirambah untuk perkebunan sawit (WWF-Indonesia, 2010). Padahal, peraturan perundang-undangan melarang adanya kegiatan perkebunan di kawasan taman nasional. Hal pendorong ini pun dipicu oleh minimnya pengetahuan petani tentang praktik kebun yang lestari.

Salah satu upaya yang dilakukan WWF-Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut, WWF melakukan pendampingan kepada 349 petani swadaya di sekitar kawasan TN  untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Upaya ini mendorong optimaliasi baik dari sisi produksi, pengelelolaan lingkungan, dan manajemen operasional petani swadaya, serta kelangsungan ekonomi. 

Dengan memperkenalkan praktik pembangunan kelapa sawit berkelanjutan maka kekhawatiran akan hilangnya kawasan hutan yang tersisa dapat ditekan. Melalui sertifikasi, penerapan pembangunan perkebunan kelapa sawit lestari yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi, diharapkan menjadi sebuah keniscayaan. Irwan Gunawan (Deputy Director Market Transformation) WWF-Indonesia

Senin, 15 April 2013

Indonesia Bawa Komoditas Perkebunan Sawit Masuk APEC

Metrotvnews.com, Surabaya: Indonesia terus memperjuangkan komoditas perkebunan berupa sawit yang selama ini tertinggal laju perdagangannya di dunia internasional dalam forum SOM II "Asia Pacific Economic Cooperation" (APEC) yang digelar di Surabaya pada 7-19 April 2113.
    
Direktur Kerja Sama APEC dan Organisasi Internasional lainnya dan Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI, Deny W Kusuma, Senin, mengatakan Indonesia terus berupaya memasukkan dimensi ekonomi berkeadilan dalam kebijakan yang akan diterapkan kawasan Ekonomi (APEC).
    
"Dalam pertemuan APEC di Surabaya ini, selain mengangkat misi Bogor goal yang menekankan pada liberalisasi dan fasilitas perdagangan, Indonesia juga akan menekankan pada beberapa sektor yang tertinggal laju pertumbuhannya dari sektor yang unggul, di antaranya sektor perkebunan dan kehutanan," katanya.
    
Menurut dia, sejauh ini beberapa Negara masih menerapkan tarif yang cukup tinggi untuk berbagai komoditas hasil hutan dan perkebunan salah satunya sawit. Bahkan, banyak juga negara yang memperlakukan standar mutu yangs angat tinggi, sehingga ekspor Indonesia untuk  jenis komoditas tersebut sangat kecil karena banyaknya hambatan.
    
Ia mencontohkan komoditas sawit yang selama ini tarif yang diberlakukan masih sangat tinggi. Bahkan China tarifnya mencapai 9 persen, Amerika Latin mencapai lebih dari 6 persen dan di beberapa negara Asian menerapkan sekitar 11 persen.
    
"Padahal potensi sawit untuk mengisi kebutuhan minyak nabati dunia cukup tinggi," ujarnya.
    
Selain itu, lanjut dia, saat ini lahan sawit di seluruh dunia mencapai sekitar 4,7 juta hektare. Dari luas lahan tersebut, produksinya mencapai 38 juta ton per tahun.
    
"Indonesia adalah penghasil sawit terbesar dunia. Sementara kompetitor terdekatnya, misalkan jagung lahannya di seluruh dunia sudah diatas 4,7 juta, bahkan gandum lahannya mendekati 20 juta hektare sedangkan produksinya masih belasan juta ton per tahun," katanya.
   
Selama ini, lanjut dia, pihaknya melihat ada semacam ketakutan negara-negara penghasil komoditas kompetitor sawit terdekat, seperti jagung, kedelai, gandum, tebu dan jarak yang didominasi oleh negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, Brazil dan Kanada.
   
"Jadi tidak mengherankan jika selama ini sawit berupaya disisihkan dan dihancurkan lewat isu lingkungan," katanya.
   
Ditanya soal tanggapan peserta APEC terhadap isu yang dihembuskan Indonesia tersebut, ia mengatakan memang masih belum menunjukkan hasil positif.
   
Saat ini, yang disetujui untuk isu tersebut adalah dengan melakukan dialog kebijakan pada SOM III di Medan pada Juni mendatang. Dari dialog tersebut akan disarikan kesimpulannya yang akan diangkat dalam  pertemuan ke-9 "Ministerial Conference" (MC9) antarmenteri di Bali pada Oktober mendatang yang kemudian akan diangkat pada pembahasan antarpemimpin negara anggota APEC.
   
"Tapi intinya, tahun ini kami berupaya mengejarnya. Ini adalah peluang untuk memasukkan isu tersebut untuk melengkapi dalam kebijakan yang akan diambil oleh negara anggota APEC," katanya.
   
Ia menjelaskan bahwa mengubah cara pandang itu butuh waktu untuk sukses, makanya pihaknya akan terus berjualan. "Kami sedang merencanakan untuk membuat proposal yang cukup bagus pada SOM III di Medan agar bisa diterima oleh anggota," katanya.
   
Beberapa pakar akan dicari guna merumuskan proposal yang akan membahas tentang perkembangan ekonomi, perdagangan dan investasi yang berkeadilan, minimal akan ada lima pakar yang akan membidanginya. (Antara)

Usaha Kelapa Sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL)

Astra Agro Lestari  merupakan perusahaan multinasional yang memproduksi perkebunan yang bermarkas di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1989. Perusahaan ini menghasilkan berbagai macam-macam bahan perkebunan.

PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) adalah salah satu produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di Indonesia. AAL tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan Astra International sebagai pemegang saham utama sebesar 79,7%.

Dalam menjalankan usahanya secara berkelanjutan AAL fokus untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen (tingkat ekstraksi). Hal ini dilakukan dengan menjalankan berbagai program intensifikasi seperti penerapan mekanisasi dalam kegiatan pemupukan dan panen; riset dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas kebun dan menjamin ketersediaan bibit kelapa sawit di masa depan dan program penanaman kembali yang telah dimulai sejak tahun 2009 dan 2010.

AAL berada dalam posisi yang tepat untuk memanfaatkan keterbatasan pasokan di pasar yang diakibatkan oleh meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap masalah pemeliharaan lingkungan.

Sejarah Astra Agro Lestari Tbk dapat ditelusuri kembali ke sekitar 30 tahun yang lalu saat PT Astra International, mendirikan unit usaha pertanian untuk mengembangkan perkebunan ubi kayu di areal seluas 2.000 hektare (ha).

Seiring permintaan pasar, unit usaha itu melakukan alih usaha berubah menjadi perkebunan karet. Selanjutnya, melihat prospek yang bagus di bisnis kelapa sawit, anak usaha Astra ini memutuskan menggarap bisnis di segmen tersebut tahun 1984 dengan mengakuisisi PT Tunggal Perkasa Plantations, yang memiliki total luas 15.000 ha perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau.

Tonggak sejarah Astra Agro terjadi pada 1988, ketika Astra International membuat segmen kelapa sawit dari unit bisnis sebagai entitas baru dengan nama PT Suryaraya Cakrawala. Selanjutnya, pada tahun 1989, nama anak perusahaan diubah menjadi PT Astra Agro Niaga. Kemudian pada tahun 1997, PT Astra Agro Niaga melakukan merger dengan Suryalaya Bahtera dan berubah nama jadi Astra Agro Lestari.

Sebagai bagian dari grup besar, Astra Agro ingin menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Akhirnya pada Desember 1997, Astra Agro Lestari menjadi perusahaan publik dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), yang kemudian merger dan bernama Bursa Efek Indonesia (BEI).

Selain mewujudkan good corporat governance (GCG), langkah go public Astra Agro juga sebagai bentuk menggalang dana dari pasar modal. Saat penawaran umum perdana (IPO), Astra Agro menawarkan 125.800.000 saham kepada masyarakat dengan harga Rp1.550 per saham. Kini, saham emiten berkode AALI ini bertengger di kisaran Rp23.000.

Astra Agro Lestari merupakan perusahaan panghasil minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan Kernel Palm Oil (KPO) yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan minyak goreng, margarine, sabun, perlengkapan kosmetik, atau pupuk.

Bermula dari 2.000-an ha lahan di Riau, lahan perkebunan kelapa sawit Astra Agro kini tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Saat ini total pabrik pengolahan Astra Agro dan anak usaha memiliki kapasitas produksi 940 ton tandan buah per jam dan 600 ton kernel per hari dan 300 ton CPO per hari. Keseluruhan proses produksi itu dikerjakan melalui anak usaha yang meliputi PT Sari Lembah Subur, PT Eka Dura Indonesia, PT Tunggal Perkasa Plantations, hingga PT Sawit Asahan Indah.

Total kapasitas produksi itu belum memperhitungkan dua pabrik baru yang dibangun pada tahun 2012 yang berlokasi di Kalimantan dan Sulawesi.

Direktur Astra Agro, Santosa mengungkapkan, pabrik itu dirancang berkapasitas 45 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Nilai investasi untuk satu pabrik berkisar Rp100 miliar hingga Rp120 miliar.        

Menurut Santosa, AALI perlu membangun pabrik untuk mendukung sektor hulu. "Diharapkan, dua pabrik ini bisa beroperasi dalam lima tahun mendatang," kata dia.

Dua proyek ini merupakan kelanjutan dari ekspansi produksi AALI pada tahun-tahun sebelumnya, yakni pembangunan dua PKS di Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Dua pabrik yang beroperasi penuh awal 2012 memiliki kapasitas masing-masing 45 ton per jam, dan 30 ton per jam.

Melihat gerak ekspansi perusahaan, tak heran hingga semester I-2012 Astra Agro Lestari membukukan pendapatan Rp5,65 triliun atau naik 6,6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp5,3 triliun.

Dari total pemasukan tersebut, pendapatan yang berhasil dibukukan dari penjualan minyak sawit mentah  sepanjang paruh pertama tahun ini mencapai Rp5,08 triliun. Nilai ini meningkat 11,89% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp4,54 triliun.

Kenaikan pendapatan Astra Agro tidak sekedar karena kenaikan harga CPO, melainkan beriringan dengan bertambahnya volume. Hingga akhir semester pertama tahun 2012, Astra Agro berhasil meningkatkan volume penjualan CPO sebesar 13,7 persen  menjadi 644.439 ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya se banyak 566.774 ton.
 

Beberapa anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL). telah menggunakan  mobil FIN Komodo sebanyak lebih dari 50 (lima puluh unit) FIN Komodo, yang terus bertambah sesuai degan kebutuhan sejak pertengahan tahun 2012, dimana FIN Komodo digunakan sebagai operasional di Perkebunan Kelapa Sawit, terutama sekali digunakan sebagai perbaikan jalan di area perkebunan Kelapa Sawit.

Berikut ini adalah testimoni dari pengguna FIN Komodo di di salah satu anak perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Astra Agro Lestari, yang berlokasi di daerah Mamuang, dan dibandingkan dengan cara perawatan jalan yang biasa dilakukan Group Astra Agro Lestari, dengan menggunakan FIN Komodo bisa menghemat hampir 90% ditinjau dari investasi dan biaya operasionalnya:


Dibawah ini adalah untuk Aplikasi Penyiraman Pupuk Cair dan Penyiraman Cairan Pembunuh Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit dengan menggunakan FIN Komodo

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)


Industri sawit di Tanah Air kita luar biasa perkembangannya. Dengan luas lahan sekitar 8,9 juta hektar dan total produksi tahun 2013 kurang lebih 23 juta ton, tak pelak jika negara kita masih mendominasi pasar sawit dunia. Setelah itu, baru Malaysia di posisi ke-2. Namun, pengelolaan perkebunan sawit kita masih jauh dari ideal, sehingga merusak lingkungan sekitar. Akibatnya, banyak tudingan miring, khususnya lembaga mancanegara terhadap sektor perkebunan ini.

Itulah sebabnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian berusaha meredam tudingan negatif tersebut dengan memberikan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan ISPO diharapkan menghindari dan mengurangi dampak pengrusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca, hingga pemicu deforestasi.

Lantas, apa bedanya ISPO dengan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO)? Sertifikasi internasional RSPO bersifat voluntary, untuk memenuhi permintaan pasar. Sebaliknya, ISPO bersifat mandatory atau wajib. Alhasil, akan ada sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan sertifi kasi ISPO.

Setidaknya ada tiga tujuan utama ISPO,” ujar Dr Rosediana Suharto, Sekretariat Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia saat presentasi dalam Workshop Wartawan Nasional “Membangun Industri Kelapa Sawit  Berkelanjutan 2013″ yang digelar GAPKI . Pertama, meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki linkungan. Kedua, meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di luar negeri. Ketiga, mendukung program pengurangan gas rumah kaca dan menjadi persyaratan utama negara pembeli bagi plam oil biodesel.

Penilaian ISPO ada dua tahap. Pertama, peran pemerintah. Caranya, melakukan penilaian usaha perkebunan dan menentukan kelas kebun, kelas1,2,3 dapat mengajukan untuk disertifikasi. Kedua, lembaga independen. Ini dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh KAN atau punya kerja sama dengan KAN, perwakilan asing auditor harus memiliki izin kerja.

Apa saja persyaratan ISPO? Menurut Rosediana, ada tujuh kriteria, yaitu: sitem perizinan dan manajemen risiko 

(1); penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit
(2); penundaan izin lokasi pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan 
(3); pengelolaan dan pemantauan lingkungan 
(4); tanggungjawab terhadap pekerja 
(5); tanggungjawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat 
(6); peningkatan usaha secara berkelanjutan 

Rosediana menegaskan, ISPO tidak akan memberatkan pengusaha karena peraturan-peraturan tersebut seharusnya sudah dipenuhi . “Ketentuan ISPO memiliki legal frame yang jelas. Sebagai ketentuan pemerintah, ISPO akan dinotifikasikan ke WTO agar diakui oleh seluruh anggota WTO,” ucapnya. Yang jelas, penerapan ISPO adalah mandatory untuk pasar lokal dan eskpor.

Kehadiran ISPO direspons positif oleh anggota GAPKI. Ya, bagi kalangan pengusaha kelapa sawit yang tergabung dalam GAPKI, sertifikat ISPO merupakan langkah awal dari bentuk pengakuan bahwa perkebunan sawit bisa dikelola secara lestari. Perusahaan sawit yang mendapat ISPO menandakan proses produksinya sudah memperhatikan keseimbangan alam, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal.

Sejauh ini, dari sekitar 8,6 juta lahan sawit, baru ada 100-200 ribu hektar saja yang sudah mengantongi sertifikat ISPO. Ada 10 perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memperoleh sertifikat bergengsi tersebut. 
 
Berikut ini nama 9 dari 10 perusahaan penerima ISPO : 
 
PT Musim Mas, 
PT Swadaya Andika, 
PT Laguna Mandiri, 
PT Ivomas Tunggal, 
PT Hindoli, 
PT Perkebunan Nusantara V, 
PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi, 
PT Gunung Sejahtera Dua Indah, 
PT Sari Aditya Loka 1. 
 
Untuk tiga perusahaan yang disebutkan terakhir merupakan perusahaan afiliasi PT Astra Agro Lestari Tbk.

Busuk Pangkal Batang Pada Kelapa Sawit

Penyakit Busuk Pangkal Batang atau Basal Stem Rot (BSR) adalah suatu penyakit yang paling banyak menyerang tanaman sawit di Indonesia, sehingga menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi petani pekebun dan perusahaan. Ciri tanaman sawit yang terkena BSR ini adalah daun berwarna hijau pucat, janur (daun muda) yang terbentuk sedikit, daun tua menjadi layu dan kemudian patah, serta dari tempat yang terinfeksi mengeluarkan getah.

Penyakit BSR inilah yang biasanya menyebabkan pohon sawit bisa tumbang atau patah batang secara tiba-tiba, seolah tanpa sebab, menimpa orang atau pekerja, sehingga sering dikaitkan dengan takhayul. Sialnya, kepatahan pohon itu sering terjadi saat pekerja sedang memanen TBS dengan cara mengegreknya. Tarikan egrek itu menjadi pemicu tumbangnya pohon, dan biasanya mengarah ke pekerja.

Adapun penyebab BSR ini adalah sejenis jamur mikroskopis yang bernama Ganoderma sp. Ada beberapa varian dari ganoderma sp, diantaaranya adalah : G.applanatum, G.lucidum, G.pseudofferum dan yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah G.boninesse.

Sampai sepuluh tahun yang lalu, belum ditemukan cara yang efektif untuk membasmi jamur ganoderma sp. ini. Dalam berbagai percobaan di laboratorium, hampir semua fungisida kimiawi dapat mengatasi jamur ini, tetapi tidak ketika diterapkan di lapangan.

Adapun perlakuan dengan fungisida sistemik (Tridemorph dan Dazomet) dengan suntikan bertekanan ke arah akar memang mampu membatasi penyebaran, tetapi cara ini sulit diterapkan karena sulit memastikan zat aktif benar-benar langsung diserap akar.

Kemudian dikembangkan pengendalian ganoderma secara biologis, yaitu dengan menumbuhkembangkan musuh alaminya. Adapun musuh alami ganoderma sp. adalah jamur trichoderma sp. Jamur trichoderma sp. ini bersifat tidak merugikan bagi tanaman dan hewan atau manusia, tetapi merupakan predator atau musuh alami ganoderma sp. Bila dilihat dengan mikroskop, trichoderma sp. membelit dan mematikan ganoderma sp. dalam waktu enam hari saja sejak kontak pertama.

Beberapa perusahaan produsen bio pestisida kemudian memproduksi dan memasarkan trichoderma sp. ini. Beberapa merk dagang yang sudah masuk ke Indonesia diantaranya adalah : NaturalGlio produksi NASA, AgenT produksi MOSA, M-Dec produksi MM dan EvaGrow produksi TIENS. Adapun cara pemakaian bio pestisida itu, tentu dapat dibaca pada label atau kemasannya. Penting kami sampaikan, agar para pengguna bio pestisida selalu mematuhi aturan cara pakai yang sudah ditetapkan produsen masing-masing.

Selain dengan menggunakan bio pestisida yang ramah lingkungan, bisa juga dengan cara membuat lingkungan tumbuh ganoderma menjadi tidak sesuai, sehingga jamur ganoderma ini tidak atau sulit berkembang. Pemberian kalsium nitrat (produksi Norsk Hydro, dengan kandungan N 15% dan Ca 19%) dapat menjadi penghalang terhadap serangan penyakit BSR, dimana jamur patogen menjadi melemah secara statis dan pertumbuhannya menurun/melambat.

Beberapa perusahaan besar penanam kelapa sawit ada juga yang menggunakan sistim penanaman lubang dalam lubang untuk mengurangi penyebaran jamur ganoderma ini. Adapun mengenai penanaman dengan sistim lubang dalam lubang ini telah kami tulis dalam tulisan sebelumnya.

Betapapun, pada serangan yang berat, maka pohon harus ditumbang dan dibakar untuk mencegah penularan yang lebih parah.

Demikian kami sampaikan sedikit ulasan tentang penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit. Bila ada yang butuh penjelasan, bisa menghubungi ponsel 081263076562. Kami akan senang belajar dan berbagi ilmu pertanian dengan semua pihak.

Penulis adalah staf pada UKM Tani Muda yang memproduksi dan memasarkan kecambah bibit kelapa sawit non sertfikat.

Mengenai penyakit tanaman sawit yang lainnya (ada sebelas macam lagi) Insya Allah akan kami tulis di kesempatan berbeda.

Minggu, 14 April 2013

Lingkaran Setan Konflik Lahan Perkebunan Sawit di Mamuju

Sengketa lahan perkebunan sawit antara perusahaan dengan petani di beberapa daerah di Kabupaten Mamuju Utara (Matra) hingga kini belum ada titik terang. Pemerintah Kabupaten Matra, Pemerintah Provinsi Sulbar dan pemerintah pusat terkesan saling lempar tanggungjawab sehingga sengketa ini berada di lingkaran setan.

Wakil Bupati Matra, Muhammad Saal mengatakan penanganan konflik antara petani dan perusahaan bukan hanya tugas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Matra. "Pemerintah provinsi selaku pimpinan tertinggi di Sulbar juga harus turut membantu penyelesaiannya. Dibutuhkan sinergitas antara provinsi dan kabupaten untuk mendapatkan solusi atas sengketa lahan perkebunan tersebut," tegas Saal, Jumat 12 April.

Menurut Saal, pemerintah kabupaten tidak bisa menyelesaikan persoalan ini tanpa keterlibatan baik pemerintah provinsi maupun pusat. "Ada hal-hal yang perlu ditangani bukan kewenangan kabupaten. Makanya, perlu sinergitas dengan provinsi dan pusat untuk menuntaskan persoalan sengketa lahan perkebunan antara petani dan perusahaan," ungkap Saal.

Saal juga membantah anggapan jika pemkab tidak serius dalam menyelesaikan sengketa antara petani dan perusahaan pengelola kepala sawit. "Tidak ada upaya pembiaran konflik berlarut-larut. Pemkab masih terus berusaha menyelesaikan konfliknya," ujarnya.

Dia juga menjamin posisi pemkab amat sangat netral. Pemkab berada di antara petani dan perusahaan. "Jika ada tudingan bahwa Pemkab Matra main mata dengan perusahaan, saya rasa itu berlebihan," tutur Saal.

Saat mengatakan, persoalan sengketa lahan antara petani dan perusahaan ini menjadi menjadi pembahasan utama dalam Rapat Forum Koordinasi Pemerintah Daerah (Forkopimda) yang dihadiri gubernur dan pihak Polda Sulselbar.

Ketua Kelompok Tani Sipakainge', Kecamatan Duri Poku, Abdul Aziz mengaku telah diminta pemkab untuk melakukan pembicaraan dengan para petani mengenai apa saja yang mereka inginkan untuk menyelesaikan masalah itu. "Mereka bertanya apa yang kami inginkan. Saya bilang, warga hanya menginginkan kemitraan di mana warga yang mengelola tanaman sawit, dan perusahaan yang membelinya," kata Aziz.

Aziz berharap, keinginan petani itu bisa dimediasi oleh pemerintah dan mendapatkan persetujuan dari perusahaan. (far)

Bea Keluar CPO April 2013 sebesar 10,5%

Jakarta, (Analisa). Kementerian Perdagangan (Kemendag) menetapkan tarif bea keluar (BK) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tetap 10,5% untuk periode April 2013.

“Setelah memperhatikan usulan tertulis dan hasil rapat koordinasi dengan instansi teknis terkait, Kementerian Perdagangan RI telah menetapkan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian, Kehutanan serta Pertambangan yang dikenakan Bea Keluar untuk periode April 2013,” demikian disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi berdasarkan keterangan tertulis yang dikutip, Jumat (29/3).

Tarif bea keluar untuk komoditi CPO dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata cost insurance freight CPO dari Rotterdam, bursa Malaysia, dan bursa Indonesia.

Penetapan HPE CPO didasarkan pada Harga Referensi CPO US$ 851,39/MT yang turun sebesar US$ 2,48 atau 0,29% dari periode bulan sebelumnya yaitu US$ 853,87/MT, sehingga didapat HPE CPO sebesar US$ 780/MT yang turun US$ 2 atau 0,26% dibandingkan periode bulan sebelumnya yaitu US$ 782/MT. Untuk penetapan Bea Keluar (BK) CPO sebesar 10,5% tercantum pada kolom 2 lampiran III PMK 75 Tahun 2012. Ini berarti tidak terdapat perubahan BK dari periode bulan sebelumnya.

Sedangkan Harga Referensi Biji Kakao untuk penetapan HPE Biji Kakao mengalami penurunan sebesar US$ 81,14 atau 3,7% yaitu dari US$ 2.190,73/MT menjadi US$ 2.109,59/MT, sehingga berdampak pada penetapan HPE Biji Kakao yang juga menurun sebesar US$ 79 atau 4,13% dari US$ 1.911/MT pada periode bulan sebelumnya menjadi US$ 1.832/MT. Namun, BK Biji Kakao tidak berubah dibandingkan periode bulan sebelumnya, yaitu sebesar 5%.

Produk pertambangan yang mengalami kenaikan HPE pada April 2013 dari periode sebelumnya antara lain Bijih Mangan yang naik sebesar 9,26% dari kisaran harga US$ 186,10-US$ 271,00/DMT menjadi US$ 203,72-US$ 295,67/DMT; Bijih Besi Tidak Diaglomerasi dengan kadar FE = 49,99% yang naik sebesar 25,9% dari harga US$ 17,02/DMT menjadi US$ 21,43/DMT; serta Bijih Besi Tidak Diaglomerasi dengan kadar 49,99% < FE = 51,99 naik sebesar 39,64 dari harga US$ 21,24/DMT menjadi US$ 29,66/DMT. Sedangkan Bijih Besi Tidak Diaglomerasi dengan kadar 51,99% < Fe = 54,99% sebesar US$ 41,82/DMT; Bijih Besi Tidak Diaglomerasi dengan kadar 54,99% < Fe = 56,99% sebesar US$ 65,02/DMT; dan Bijih Besi Tidak Diaglomerasi dengan kadar Fe > 56,99% sebesar US$ 110,17/DMT.

Sementara, produk pertambangan yang mengalami penurunan HPE pada April 2013 dibandingkan periode sebelumnya adalah Bijih Nikel turun sebesar 7,33% dari kisaran harga US$ 13,51-US$ 38,97/WMT menjadi US$ 12,52-US$ 36,11/WMT; Bijih Aluminium turun sebesar 0,8% dari harga US$ 21,25 menjadi US$ 21,08/DMT; Bijih Zirconium turun sebesar 14,19% dari harga US$ 1.051,63/WMT menjadi US$ 902,38/WMT; serta Zirconium silikat dari jenis yang dipakai sebagai opasitas turun sebesar 14,19% dari harga US$ 1.167,49/DMT menjadi US$ 1.001,79/DMT. (dtc)

Sabtu, 13 April 2013

Benih Sawit Sriwijaya Sampoerna Agro Hasilkan Bibit Sawit Unggul


Akhir bulan Maret 2013, saya berkesempatan mengunjungi PT Bina Sawit, milik Sampoerna Agro di Palembang. Kegiatan ini dalam rangka persiapan pembuatan perusahaan yang bergerak dalam pembibitan kelapa sawit di Bengkulu.
Dalam kesempatan ini saya diberikan paparan tentang varietas dan sejarah benih sawit yang kini telah memiliki 6 varietas. Dari beberapa jenis varietas, saya lebih tertarik SJ-5. Benih Sawit Sriwijaya dari Sampoerna Agro memang menghasilkan Bibit Sawit Unggul. Penulis sudah meninjau lokasi Kebun Sawit yang menggunakan varietas SJ-1 (Srwijaya 1). Padahal menurut perbandingan, varietas SJ-5 jauh lebih bagus lagi.

Prose selanjutnya, saya diperkenalkan proses pembuatan benih dari proses sortir hingga pengemasan kecambah.
Di bulan April 2013, kami bersama tim telah mempersiapkan proses pembibitan tahap awal untuk lahan pribadi sebanyak 5.000 butir. Proses ini pun dalam rangka pembelajaran, menganalisa nilai ekonomis dari bisnis ini. Untuk 5.000 bibit ini bisa digunakan untuk +- 35 hektar.

Ke depan kami akan mempersiapkan pembibitan dengan kapasitas 100.000 bibit per-tahun.
Silahkan kunjungi website kami di www.sawitku.com

Pemesanan bibit kelapa sawit unggul bersertifikat di Bengkulu, panen di usia 26-30 bulan: Irwan 082184810519

Rabu, 10 April 2013

Spekulasi stok tekan harga CPO

Harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) terkoreksi. Pasar memilih aksi ambil untung sebelum data ekspor dan persediaan CPO dirilis oleh Dewan Sawit Malaysia, hari ini.

Harga CPO untuk kontrak pengiriman Juni 2013, Selasa (9/4) pukul 18.45 WIB, melemah 0,21% menjadi RM 2.395 per ton dibanding harga sehari sebelumnya. Sejak awal tahun ini, harga CPO memang cenderung tertekan dan telah mencatatkan penurunan sebesar 8,03%.

Hasil survei Bloomberg memprediksikan, persediaan CPO di Malaysia kemungkinan akan menyusut sebesar 7% menjadi 2,27 juta ton pada Maret 2013 dibandingkan dengan stok bulan sebelumnya. Survei itu juga memprediksikan, produksi CPO Malaysia akan naik 2,3% menjadi 1,33 juta ton dan pengiriman CPO meningkat 2,1% menjadi 1,43 juta ton pada periode yang sama. "Harga telah naik cukup banyak kemarin, sehingga aksi ambil untung mewarnai perdagangan sebelum data resmi keluar," ujar Ivy Ng, analis CIMB Investment Bank Bhd, kepada Bloomberg.

Permintaan tetap ada

Zulfirman Basir, analis Monex Investindo futures mengatakan, perekonomian global saat ini belum sepenuhnya menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Sehingga, harapan harga CPO akan kembali ke tren penguatan dalam waktu dekat terbilang cukup sulit.

Saat ini, pasar hanya bereaksi terhadap ekspektasi berkurangnya stok CPO Malaysia. Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri berpendapat, saat ini sudah saatnya bagi harga CPO untuk naik karena musim panen raya sudah berakhir. Permintaan CPO secara global terutama dari China dan India sebenarnya masih bisa naik.

Sementara itu, peraturan pembatasan impor CPO dari India tidak akan terlalu menghambat pergerakan harga CPO. Sebab, produsen lokal India sebenarnya tidak mampu menangani permintaan CPO domestik yang cukup tinggi. Sehingga impor dari Indonesia dan Malaysia diperkirakan masih cukup besar.

Secara teknikal, Zulfirman melihat harga CPO akan bergerak sideways. Moving Average (MA) menunjukkan harga bergerak di bawah MA 50, mengindikasikan adanya potensi bearish. Moving Average Convergence Divergence (MACD) masih berada di area negatif, di level -17, dengan pergerakan mendatar. 

Kiswoyo memprediksi, harga CPO akan menguat di kisaran RM 2.350-RM 2.450 per ton dalam sepekan ini.

Hentikan Pembukaan Perkebunan Sawit

JAMBI - Pemerhati lingkungan hidup yang juga Direktur Yayasan Prespektif Baru, Wimar Witoelar, mengatakan, sudah saatnya upaya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dihentikan.

"Tidak hanya perkebunan sawit yang merupakan tanaman monokultur yang tidak ramah lingkungan, namun juga sebagian besar upaya pembukaan kebun sawit lebih banyak merambah kawasan hutan," ujar Wilmar usai mengisi diskusi dengan tema “Masa Depan Hutan Ada di Tangan Generasi Muda” di Universitas Jambi, Jambi, Selasa.

Menurut dia, jika tidak segera diambil langkah yang tepat, sejumlah daerah di Indonesia akan semakin terancam bencana ekologi seperti banjir dan kekeringan yang semakin parah.

Diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara Manajer Program Kebijakan dan Advokasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Diki Kurniawan, Legal and Institutional Spesialist Satuan Tugas REDD, Gita Syahrani, dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Syamsurizal Tan.

Diskusi itu lebih menekankan pada perhatian sudut pandang untung-ruginya perkebunan sawit di Indonesia, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat secara umum.

Diki Kurniawan memaparkan, kawasan hutan di Provinsi Jambi, dengan luas sekitar 2,1 juta hektare. Areal itu mencakup 1,1 juta hektare kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selebihnya, merupakan kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi.

"Kondisi tutupan hutan di Provinsi Jambi saat ini sudah sangat memprihatinkan. Antara lain akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri secara berlebihan dan tanpa memperhatikan dampaknya. Wajar saja bila musim hujan mengalami banjir dan sebaliknya kemarau mengakibatkan kekeringan," jelasnya.

Sementara itu, Gita Syahrani menyoroti tentang banyaknya terjadi konflik lahan, antara perusahaan dengan masyarakat.

Menurut Gita, data dari Kementrian Pertanian mencatat, dari 1.000 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, 59 persen di antaranya terlibat konflik.

"Secara teoritis penyebab konflik, perusahaan membutuhkan lahan luas, sementara lahan tersebut dalam penguasaan masyarakat," ujarnya.

Penyebab konflik ini, antara lain sebagai akibat kurang tegasnya pengaturan dan konsistensi tata ruang di tiap level pemerintahan. Kemudian, tidak jelasnya status lahan dan bukti pemilikan, serta kurangnya kebijakan pengaman lingkungan, sosial dan ekonomi yang memadai.

Upaya mengatasi itu semua, dibutuhkan keterlibatan masyarakat secara keseluruhan, termasuk kalangan mahasiswa. Untuk itu, semua pihak hendaknya terus ikut memantau dalam kegiatan penyusunan dan pengesahan tata ruang di setiap daerah.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Syamsurizal Tan, menilai pembukaan perkebunan kelapa sawit secara luas di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi, tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat secara umum.

"Kebun kelapa sawit hanya menguntungkan pemilik perusahaan, sementara masyarakat di level menengah ke bawah bahkan dirugikan," katanya.

Kondisi ini terjadi, karena masyarakat di sekitar kebun sendiri tidak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan maupun kepemilikan. Tidak itu saja, pembukaan kawasan perkebunan juga mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup. (Investor Daily/tk/ant)

Asosiasi Petani Sawit Dukung Kewajiban Bangun Kebun Plasma

MEDAN – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia mendukung penuh revisi aturan perkebunan terutama luas, perizinan, dan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma.

Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad menegaskan sudah sejak lama Apkasindo menginginkan adanya revisi terhadap Permentan No. 26/2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

“Selama ini batasan areal 100.000 hektare tidak berlaku untuk investor asing, sehingga perkebunan di Indonesia dirajai oleh investor dari Singapura dan Malaysia. Karena pembatasan yang dibuat pada Permentan 100.000 hektare untuk setiap provinsi,” ujarnya menjawab Bisnis, Kamis (4/4).

Sebelumnya Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan Kementerian Pertanian dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) telah merampungkan draf final untuk revisi permentan No. 26/2007.

Menurut Asmar asosiasi yang dipimpinnya sudah pernah mengajukan surat kepada UKP4 agar secepatnya merevisi Permetan No. 26 Tahun 2007 khususnya penguasaan lahan perkebunan, perizinan, dan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma.

Kalau draf revisi tersebut sudah rampung, paparnya, sebaiknya cepat diteken, sehingga tidak dipengaruhi oleh para pemain perkebunan skala besar yang ingin menguasai lahan perkebunan di Indonesia.

Pedoman luasan perkebunan yang dibatasi per group perusahaan yang masih mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham sebuah perusahaan patut didukung semua pihak.

“Kalau perlu perkebunan sawit untuk asing ditutup saja, sehingga areal yang tersisa diperuntukkan kepada petani,” tuturnya.

Khusus mengenai perizinan yang mengharuskan rekomendasi dari Dirjenbun, menurut Asmar, juga tepat karena setelah otonomi daerah bupati sesuka hati untuk memberikan perizinan kepada kelompok usaha tertentu tanpa mengindahkan aturan yang lebih tinggi.

“Raja-raja kecil di daerah mengabaikan aturan yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan tumbang tindih lahan perkebunan di daerah,” tuturnya.

Kemudian, paparnya, soal kewajiban perusahaan yang mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) mengalokasikan lahan 20% untuk kebun plasma sebenarnya sudah bagus, namun dalam implementasinya di lapangan kurang mendapatkan pengawasan dari pemerintah.

“Coba Anda perhatikan dan lihat di lapangan. Seberapa banyak perusahaan perkebunan yang memenuhi ketentuan tersebut? Apalagi perkebunan asing, tidak ada yang memenuhi kewajiban mengalokasikan 20% lahan untuk plasma. Jadi, dalam hal ini pengawasannya harus dipertegas dan sanksi kepada perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi kewajibannya diperberat,” tuturnya.

Dia mencontontohkan jika perusahaan tidak mengalokasikan arealnya untuk plasma, maka izin usaha perkebunannya dicabut atau kebunnya disita dan dibagikan kepada petani sesuai aturan yang berlaku.

“Kalau sanksinya tidak tegas, maka kewajiban membangun perkebunan plasma hanya indah bagus di atas kertas,” tuturnya.

Asmar mengusulkan hal yang lebih ekstrem dalam revisi aturan perkebunan tersebut.

“Sebaiknya perusahaan asing jangan lagi diberikan IUP karena lahan yang tersedia semakin sempit, sedangkan penduduk Indonesia semakin bertambah. Jadi yang dikembangkan di Indonesia adalah perkebunan skala kecil yang mengalokasikan lahan untuk petani minimal 25 hektare untuk satu kepala keluarga,” tandasnya. (esu)

Selasa, 09 April 2013

Harga Minyak Kelapa Sawit Mulai Membaik

Awan kelabu yang menyelimuti bisnis kelapa sawit mulai memudar. Ini terkait dengan mulai merangkak naiknya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, sepanjang Februari 2013, ekspor CPO Indonesia memang turun dibanding Januari 2013. "Ini lebih disebabkan turunnya volume, sebab harganya sekarang sedang naik," ujarnya Rabu (3/4).

Data BPS menunjukkan, angka ekspor untuk komoditas minyak hewan/nabati yang mayoritas CPO pada Ferbuari lalu tercatat sebesar USD 1,65 miliar, turun dibandingkan periode Januari yang mencapai USD 1,94 miliar.

Namun, dari sisi harga, BPS mencatat adanya tren kenaikan. Tahun lalu, harga CPO sempat mencapai level di atas USD 1.000 per ton. Namun, pada akhir tahun, harganya terus merosot seiring dengan turunnya permintaan di pasar internasional karena lesunya ekonomi dunia.

Bahkan, pada Desember 2012, harga sempat merosot ke kisaran USD 776 per ton. Sejak itu, harga pun membaik. Pada Januari 2013, rata-rata harga sudah naik menjadi USD 841 per ton dan pada Ferbruari 2013 naik lagi menjadi USD 863 per ton. "Dengan membaiknya perekonomian, harga juga akan membaik," ucapnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan menambahkan, recovery perekonomian global akan mendorong perbaikan harga CPO. "Memang, tahun ini diproyeksi akan naik," ujarnya.

Menurut Fadhil, pergerakan harga minyak kelapa sawit di pasar internasional saat ini sering bergerak liar karena faktor supply and demand tidak lagi dominan dalam penentuan harga. "Saat ini, harga lebih banyak ditentukan oleh sentimen perekonomian global," katanya.

Fadhil menggambarkan, pada 2011, rata-rata harga CPO di pasaran dunia mencapai kisaran USD 1.119 per ton. Namun, pada 2012, harga sudah jatuh di kisaran USD 800 per ton. "Tahun ini, harga CPO di semester pertama diproyeksi di kisaran USD 800 - 900 per ton, pada semester ke dua kemungkinan akan naik sedikit ke kisaran USD 900 - 1.000 per ton," ucapnya.

Harga kelapa sawit (CPO) untuk perdagangan hari ini (8/4) tercatat mengalami kenaikan setelah adanya laporan bahwa persediaan kelapa sawit di Malaysia untuk bulan Februari lalu mengalami penurunan sebesar 7% menjadi 2,27 juta ton dibandingkan dengan data bulan Januari. Turunnya persediaan kelapa sawit tersebut disebabkan oleh naiknya data ekspor kelapa sawit sebesar 2,1% menjadi 1,43 juta ton.

Namun banyak pengamat cukup khawatir bahwa data tersebut tidak akan berlanjut untuk bulan Maret dan April dimana jumlah permintaan akan mengalami penurunan seiring dengan surplusnya persediaan kelapa sawit di beberapa negara importir seperti China dan India.

Harga kelapa sawit (CPO) untuk perdagangan hari ini naik sebesar 1,3% menjadi 2390 ringgit atau 783 dollar per metrik ton di Bursa Malaysia Derivatives. Sepanjang pekan lalu harga CPO mengalami penurunan sebesar 0,8%.

Divisi Vibiz Research di Vibiz Consulting memprediksi bahwa pergerakan harga kelapa sawit untuk perdagangan hari ini diperkirakan akan mengalami pergerakan yang labil. Investor hari ini akan menantikan rilisnya data tingkat inflasi China untuk bulan Maret lalu. 

Sempat Sentuh Rp 6.850/Kg

Kontrak komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi salah satu andalan bursa berjangka dalam negeri.

Pada pekan ini pergerakan harga CPO di perdagangan global cenderung lemah. Bahkan analis PT Monex Investindo Futures Ariana Nur Akbar menyebut minyak nabati ini masih berada pada tren bearish.

Sementara itu, data dari Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau Indonesia Commodity Derivatives Exchange (ICDX) pada Jumat (5/4/2013) menunjukkan pergerakan harga sempat menyentuh Rp6.850 per kilogram untuk kontrak April ini.

Selebihnya, data mencatat harga kontrak berada pada kisaran diatas Rp7.300 per kilogram. Misalnya saja, untuk kontrak Mei berada pada posisi Rp7.360, kontrak Juni Rp7.350, dan kontrak Juli Rp7.365 per kilogram.

Sementara itu, volume transaksi masing-masing kontrak bervariasi yakni 40 lot untuk April, 164 lot untuk Mei, 552 lot untuk Juni, dan 479 lot untuk Juli. Volume tersebut merupakan total transaksi pialang lokal dan penyaluran amanat luar negeri (PALN).

Dari masing-masing total volume transaksi itu, amanat untuk luar negeri masing-masing 34 lot pada Arpil, 107 lot pada Mei, 312 lot pada Juni, dan 259 lot pada kontrak Juli.

Senin, 08 April 2013

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2002).

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)

Pada umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur tersebut pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada saat itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Pada usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan mati (Fauzi et al., 2002).

Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm kernel). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang biji sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap (Fauzi et al., 2002).

Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara  keseluruhan proses penyulingan minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % PFAD (Palm fatty Acid Distillate) dan 0,5 % buangan (Fauzi et al., 2002).

Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa limbah kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya limbah kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas (Fauzi et al., 2002).

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah padat yang dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup besar karena hampir sama dengan jumlah produksi minyak sawit mentah. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Komponen terbesar dari TKKS adalah selulosa (40-60 %), disamping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30 %), dan lignin (15-30 %) (Dekker, 1991). Salah satu alternatif pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik dengan melakukan pengomposan (Fauzi et al., 2002).

Pengomposan adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi material organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses aerob atau proses yang membutuhkan oksigen. Mikroorganisme memakai O2 untuk mendapatkan energi dan nutrisi dari material organik. Dalam proses tersebut  mereka menghasilkan karbon dioksida (CO2), air, panas, kompos dan bermacam-macam gas sebagai produk dari dekomposisi material organik. Berbagai macam transformasi biologis dan produk terjadi dalam proses pengomposan. Dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme, yang menghuni bermacam-macam lingkungan mikro. Meskipun mikroorganisme mendekomposisi beberapa material organik, mereka terus menciptakan senyawa organik baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur seperti nitogen (N) dan sulfur (S) bergabung dengan unsur lain, berubah secara cepat  diantara bentuk terlarut dan tidak terlarut. Bentuk unsur yang terlarut adalah ditujukan untuk digunakan oleh mikrobia atau kemungkinan terjadi pencucian. Proses kimia dan fisika yang lain juga terjadi, mempengaruhi porositas, kapasitas menahan air dan nutrisi, konduktivitas, pH, dan sifat lain yang mungkin berpengaruh baik dalam proses pengomposan atau potensi penggunaan dari produk hasil pengomposan (Stoffella dan Kahn, 2001).

Pengomposan adalah proses aerob, yang berarti dalam prosesnya membutuhkan udara. Bahkan udara mungkin lebih penting dari makanan bagi mikroorganisme, pada umumnya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu habis daripada makanan. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara anaerob, yang merupakan hal buruk untuk dua alasan. Pertama, perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, dan kedua, beberapa produknya, seperti ammonia dan hidrogen sulfida menimbulkan bau busuk (Thompson K, 2007)

Oksigen disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme aerasi dapat sangat efektif, tetapi tidak sempurna. Dalam kenyataan, sebagian dari proses dekomposisi juga terjadi secara anaerob (tanpa O2). Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material kompos. Tetapi, dekomposisi anaerob yang berlebihan tidak diinginkan selama pengomposan karena menghasilkan degradasi yang tidak sempurna dan bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yang baik meminimalkan bau yang berhubungan dengan proses anaerob dan menyempurnakan dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial seperti asam organik, yang dapat berperan pada fitotoksisitas ketika kompos digunakan (Stoffella dan Kahn, 2001).

Kondisi yang dianjurkan untuk pengomposan
Kondisi
Batas yang layak
Batas yang dianjurkan
Rasio C/N Kelembaban
Konsentrasi O2
Ukuran Partikel
pH
Temperatur
20/1 – 40/1 40 – 65 % 1
>5 %
3 – 13
5.5 – 9.0
43 – 66
25/1 – 30/1 50 – 60 %
jauh lebih besar dari 5 %
Bervariasi 2
6.5 – 80
54 – 60
1 Rekomendasi untuk pengomposan cepat. Kondisi diluar batas tersebut dapat juga memberikan hasil yang baik
2 Tergantung pada material yang digunakan, ukuran tumpukan, dan keadaan lingkungan
(Rynk et al., 1992).

Dalam sistem pengomposan cepat (high-rate composting) yang diteliti oleh John R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan dilakukan secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya menunjukkan bahwa limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan terbaik ketika rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH di dalam reaktor dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, dengan kelembaban diantara 50 – 60%. inokulum mikrobia terbaik yang digunakan sebagai aktivator berasal dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari limbah padat yang dikomposkan. Kompos yang berada di dalam reaktor diaduk secara terus-menerus agar mendapat udara dengan baik. Udara ditiupkan ke dalam reaktor untuk menjaga supply oksigen bagi mikroorganisme. Temperatur dikontrol untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Professor Snell menemukan bahwa proses pengomposan selesai ketika sudah tidak ada peningkatan temperatur yang signifikan, tidak ada lagi kandungan nitrogen yang hilang, dan kompos tidak menghasilkan bau yang menyengat (McKinney, 2004). Sistem high-rate composting tersebut tidak cocok jika diterapkan dalam skala intustri, karena biaya yang dibutuhkan untuk proses pengomposan  akan sangat besar.

Parameter psikokhemis untuk kompos yang sudah matang sangat bervariasi. Yang paling penting adalah: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 – 65%); kandungan residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%); total nitrogen ( 2 – 3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan nitrat (1 – 2%); total fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 – 1.2%); rasio C/N (20 – 30). Kandungan unsur mikro sebagai berikut: Cu (3–3.6), Zn (40–50), Co (0.05–0.1), Mn (40–45), dan Fe (100) (Neklyudov, A. D.  et al., 2008).

Pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan di sebagian besar industri sawit, hal pertama yang dilakukan adalah pencacahan. TKKS dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan dengan memakai mesin pencacah. Kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 1 meter. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam dapat memproduksi 60 ton kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yang dihasilkan (Fauzi et al., 2002).

Proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos yang sudah matang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
  • Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
  • Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
  • Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun. Rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60. Setelah proses pengomposan rasio C/N akan turun dibawah 25. Apabila rasio C/N lebih tinggi dari 25 proses pengomposan belum sempurna. Pengomposan perlu dilanjutkan kembali sehingga rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).

Salah satu parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan adalah ketersediaan O2. Pada sistem pengomposan, supply O2 dipenuhi melalui mekanisme aerasi. Aliran udara pada sistem pengomposan perlu dipertahankan pada 10 dan 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari limbah padat yang dikomposkan. Terlalu sedikit aerasi menyebabkan kondisi anaerob terjadi, memperlambat proses pengomposan. Terlalu banyak aeasi akan menyebabkan kompos menjadi kering dan menghambat/menghentikan metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos adalah diantara 55% dan 69% (McKinney, 2004).

Hal penting yang perlu diketahui dalam setiap proses pengomposan adalah selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan suatu material organik. Jika batas maksimal tersebut telah dicapai, perlakuan apapun yang diberikan terhadap sistem kompos tidak akan dapat mempercepat laju proses pengomposan. Sumber: http://akbar.blog.ugm.ac.id

Download


Referensi

Direktorat Jendral Perkebunan. 2008. Statistika Perkebunan Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id/. Diakses tanggal 20 juni 2008
Fauzi, Y., Widiastuti, YE., Setyawibawa, I., dan Hartono, R. 2002. Kelapa Sawit, Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta.
McKinney, Ross E. 2004. Environmental Pollution Control Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Neklyudov, A. D., Fedotov, G. N.,  dan Ivankin, A. N. 2008. Intensification of Composting Processes by Aerobic Microorganisms: A Review. Applied Biochemistry and Microbiology Vol. 44, No. 1.
Rynk, R.F., M. van de Kamp, Willson G.B., Singley, M.E., Richard, T.L., Kolega, J.J., Gouin, F.R., Laliberty, L.L., Kay, D., Murphy, D.W., Hoitink, H.A.J., dan Brinton, W.F. 1992. On-Farm Composting Handbook. Natural Resource, Agriculture, and Engineering Service (NRAES). Ithaca, New York.
Stoffella, Peter J dan Kahn, Brian A. 2001. Compost utilization in horticultural cropping systems. CRC Press LLC. Florida.
Thompson, K. 2007. COMPOST: The Natural Way to Make Food for Your Garden. DK Publishing. New York.

Dunia Semakin Tinggalkan Kelapa Sawit dan Kertas dari Hutan Tropis

Sejumlah korporasi yang berbasis di Amerika dan Eropa, kini ramai-ramai mulai menerapkan kebijakan untuk menggunakan sumber-sumber yang memiliki standar keramahan lingkungan yang jelas, baik untuk bahan dalam penggunaan minyak kelapa sawit, maupun material kertas yang digunakan sebagai pembungkus yang diberikan kepada para konsumen mereka. Kebijakan anti-deforestasi ini berupaya agar pihak perusahaan menjadi lebih ramah lingkungan dan tidak membeli materi kertas yang bersumber dari hutan hujan tropis di dunia, salah satunya dari Indonesia.

Dari Amerika Serikat dilaporkan Yum! Brands, raksasa bisnis makanan siap saji yang memiliki jaringan restoran KFC, Pizza Hut dan Taco Bell menerapkan kebijakan anti-deforestasi ini untuk seluruh material pembungkus makanan mereka. Yum! juga akan meningkatkan porsi penggunaan kertas daur ulang dalam seluruh material pembungkus makanan mereka, serta menolak untuk memakai kertas yang bersumber dari penebangan hutan alami di negara-negara tropis seperti Indonesia dan Brasil.

Dala situs mereka, Yum! telah berkomitmen untuk membuat pembungkus makanan mereka menjadi lebih berkelanjutan sebagai prioritas program mereka. “Terkait dengan besarnya volume penggunaan pembungkus dalam produk kami, Yum! memiliki posisi yang unik untuk menyediakan materi pembungkus yang lebih ramah lingkungan bagiseluruh konsumen kami di seluruh dunia, untuk menekan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.”

Dalam menerapkan kebijakan baru ini, pihak perusahaan makanan ini akan menjalin kerjasama dengan penyuplai yang menggunakan kertas yang memiliki standar lingkungan yang jelas, termasuk yang bersertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) dan PEFC (Program for Endorsement of Forest Certification) yang memberikan kriteria sumber tanaman, hak-hak masyarakat dan high conservation value forest.

Sementara dari Eropa, Neste Oil, sebuah perusahaan energi dari Finlandia telah mengumumkan kebijakan baru dalam penggunaan minyak kelapa sawit mereka. Sebagai salah satu pembeli terbesar minyak kelapa sawit dunia, mereka telah menerima berbagai kritik dari berbagai aktivis lingkungan terkait kebijakan pembelian kelapa sawit mereka selama ini yang dinilai berkontribusi dalam kerusakan yang terjadi di hutan hujan tropis dan lahan gambut di Asia Tenggara.

Lewat kebijakan baru ini, Neste berkomitmen untuk tidak membeli kelapa sawit dari perkebunan yang telah membabat hutan tropis, lahan gambut dan tidak membeli dari sumber yang dialihfungsikan dari padang rumput sejak Januari 2008.

“Sebagai salah satu pembeli terbesar minyak kelapa sawit kami sadar akan tanggung jawab yang kami miliki terhadap dampak langsung dan tidak langsung atas operasi perusahaan yang kami lakukan,” ungkap Senior Vice President untuk Program Keberlanjutan Neste Oil, Simo Honkanen dalam pernyataannya. “Kerjasama kami dengan The Forest Trust adalah sebuah kelanjutan dari upaya awal kami untuk membantu menekan laju deforestasi dan membantu membangun dialog yang proaktif dengan mitra kerja kami. Sebagai salah satu perusahaan terkemuka, kami memiliki kesempatan untuk mendukung praktek pembangunan yang berkelanjutan di bidang minyak kelapa sawit.”

Kebijakan dan komitmen Neste ini akan dimonitor oleh The Forest Trust (TFT), sebuah konsultan lingkungan yang baru-baru ini menandatangani kerjasama dengan Golden-Agri Resources, salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, dan Asia Pulp and Paper, perusahaan penghasil kertas terbesar ketiga di dunia.

Tabel: Permintaan terhadap pulp and paper Indonesia Hingga 2020
Dalam komitmen lingkungan mereka, Neste menyatakan hanya akan membeli biofuel dari sumber yang terpercaya, mereka juga akan mendukung prinsip Free, Prior and Informed Consent yang memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di tanah adat mereka, menghindari konversi lahan di wilayah yang memiliki kandungan karbon tinggi dan hutan yang masuk dalam kategoti high conservation value forest.
Dengan standar yang ditetapkan oleh Neste saat ini, maka perusahaan ini telah bergerak lebih jauh dibandingkan standar yang dianut oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) saat ini. RSPO adalah lembaga yang memberikan koridor dan mengawasi aktivitas perusahaan kelapa sawit di seluruh dunia agar bergerak di dalam standar yang ramah lingkungan, namun menurut Direktur Eksekutif TFT, Scott Pynton, pihaknya telah megkritisi RSPO terkait lemahnya standar ‘tanpa deforestasi’ mereka.

“Dibawah RSPO anda akan tetap bisa menebang hutan sekunder, dan anda akan tetap diizinkan menebang lahan gambut,” ungkap Poynton kepada REDD-Monitor. “Kendati banyak perusahaan mengatakan kami hanya akan membeli minyak kelapa sawit berstandar RSPO, namun anda akan tetap bisa menebang hutan, lahan gambut, dan hutan sekunder.” Sumber : mongabay.co.id

Bisnis kebun sawit makin sempit

Sentimen negatif sepertinya belum beranjak dari emiten perkebunan. Kali ini berita buruk datang dari Kementerian Pertanian (Kemtan) yang merilis revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Beleid yang mengatur pembatasan kepemilikan lahan ini akan disahkan akhir April 2013. Kelak, setiap holding perusahaan perkebunan hanya dapat memiliki lahan maksimal 100.000 hektare (ha). Aturan sebelumnya, pembatasan kepemilikan 100.000 ha cuma berlaku untuk satu perusahaan saja.

Analis Mega Capital Indonesia, Arief Fahruri mengatakan, pembatasan ekspansi lahan ini jelas berdampak negatif bagi emiten kelapa sawit. Maklum, ketersediaan lahan merupakan salah satu ukuran penting dalam bisnis kelapa sawit. Beleid ini bisa membuat prospek pertumbuhan jangka panjang emiten sawit akan terhambat. Tapi, Arief menilai, aturan ini lebih memberikan dampak signifikan bagi emiten dengan lahan kecil.

Sementara, emiten dengan lahan luas masih bisa menjaga pertumbuhan dengan beberapa strategi. Misalnya, dengan meremajakan tanaman alias replanting. Atau bisa juga dengan menanam sawit di lahan yang belum tergarap.

Arief memberi catatan, emiten yang memiliki cadangan lahan luas diantaranya PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Selain itu grup Indo Agri seperti PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Ada juga grup PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO).

Sedangkan, emiten yang memiliki cadangan lahan kecil seperti PT BW Plantation Tbk (BWPT) dan PT Provident Agro Tbk (PALM).

Tidak berlaku surut

Revisi Permentan sendiri tidak berpengaruh pada emiten yang sudah lama berbisnis kelapa sawit. Sebab, kebijakan ini tidak berlaku surut.

Jadi, grup perusahaan yang sebelumnya sudah memiliki lahan di atas 100.000 ha tidak harus menjual asetnya. Analis OSK Securities, Yuniv Trenseno menuturkan, emiten dengan lahan besar juga diuntungkan dengan kenaikan harga lahan yang signifikan.

Yuniv lebih menyenangi SGRO yang memiliki cadangan lahan luas. Anak usaha milik Grup Sampoerna ini memiliki total lahan 222.000 ha.

Dari luas tersebut, seluas 115.000 ha sudah tertanam, 47.000 ha lahan masih berstatus siap tanam. Sisanya, seluas 60.000 ha belum jelas penggunaannya.

Beda halnya dengan BWPT yang hanya memiliki cadangan 42.000 ha lahan dari total keseluruhan milik BWPT seluas 102.000 ha. "Perusahaan baru akan lebih sulit tumbuh jika aturan ini diterapkan," ujar Yuniv.

Analis Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto bilang, tanpa aturan pembatasan lahan, ekspansi emiten sawit sebenarnya sudah melambat. Apalagi, biaya penanaman dan pembebasan lahan makin mahal. Desakan organisasi lingkungan membatasi ekspansi lahan pun mulai diperhatikan internasional.

Lantaran biaya tanam mahal, BWPT hanya menargetkan menanam lahan baru seluas 4.000 ha di tahun ini. Padahal, BWPT biasa menanam seluas 10.000 ha - 13.000 ha per tahun. Begitu juga dengan AALI yang sejak tiga tahun terakhir hanya menanam 5.000 ha per tahun. Padahal, AALI biasa menanam hingga 22.000 ha per tahun.

Menurut Arief, beleid pembatasahn lahan ini bisa saja gagal. Sebab, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bakal menggugat aturan tersebut. Permasalahan serupa pernah terjadi pada industri perkebunan karet. Saat itu, pemerintah ingin membatasi lahan karet dengan membuka areal hutan tapi aturan sulit dilakukan.