Senin, 08 April 2013

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Bahkan mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2002).

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritus dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa (Fauzi et al., 2002)

Pada umumnya kelapa sawit tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada 3 tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, karena pada umur tersebut pohon kelapa sawit belum menghasilkan buah. Pohon kelapa sawit akan mulai berbuah pada umur 4 sampai enam tahun, dan pada usia tujuh tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode) dimana pada saat itu tanaman mulai menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunch). Pada usia 11 sampai 20 tahun pohon kelapa sawit akan mengalami penurunan produksi, dan biasanya pada usia 20 – 25 tahun tanaman kelapa sawit akan mati (Fauzi et al., 2002).

Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil), sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (palm kernel). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang biji sawit dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar ketel uap (Fauzi et al., 2002).

Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (refine, bleached and Deodorized palm oil). Disamping itu dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD stearin dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara  keseluruhan proses penyulingan minyak sawit dapat menghasilkan 73 % olein, 21 % stearin, 5 % PFAD (Palm fatty Acid Distillate) dan 0,5 % buangan (Fauzi et al., 2002).

Proses pengolahan kelapa sawit menghasilkan produk ikutan berupa limbah kelapa sawit. Berdasarkan tempat pembentukannya limbah kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah industri kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan kelapa sawit. Limbah jenis ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas (Fauzi et al., 2002).

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan salah satu jenis limbah padat yang dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS ini cukup besar karena hampir sama dengan jumlah produksi minyak sawit mentah. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Komponen terbesar dari TKKS adalah selulosa (40-60 %), disamping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30 %), dan lignin (15-30 %) (Dekker, 1991). Salah satu alternatif pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit adalah sebagai pupuk organik dengan melakukan pengomposan (Fauzi et al., 2002).

Pengomposan adalah proses biologis dimana mikroorganisme mengkonversi material organik menjadi kompos. Pengomposan dinominasi oleh proses aerob atau proses yang membutuhkan oksigen. Mikroorganisme memakai O2 untuk mendapatkan energi dan nutrisi dari material organik. Dalam proses tersebut  mereka menghasilkan karbon dioksida (CO2), air, panas, kompos dan bermacam-macam gas sebagai produk dari dekomposisi material organik. Berbagai macam transformasi biologis dan produk terjadi dalam proses pengomposan. Dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme, yang menghuni bermacam-macam lingkungan mikro. Meskipun mikroorganisme mendekomposisi beberapa material organik, mereka terus menciptakan senyawa organik baru dari produk hasil dekomposisi. Unsur seperti nitogen (N) dan sulfur (S) bergabung dengan unsur lain, berubah secara cepat  diantara bentuk terlarut dan tidak terlarut. Bentuk unsur yang terlarut adalah ditujukan untuk digunakan oleh mikrobia atau kemungkinan terjadi pencucian. Proses kimia dan fisika yang lain juga terjadi, mempengaruhi porositas, kapasitas menahan air dan nutrisi, konduktivitas, pH, dan sifat lain yang mungkin berpengaruh baik dalam proses pengomposan atau potensi penggunaan dari produk hasil pengomposan (Stoffella dan Kahn, 2001).

Pengomposan adalah proses aerob, yang berarti dalam prosesnya membutuhkan udara. Bahkan udara mungkin lebih penting dari makanan bagi mikroorganisme, pada umumnya dalam tumpukan kompos, udara lebih dahulu habis daripada makanan. Jika tidak terdapat cukup udara, dekomposisi terjadi secara anaerob, yang merupakan hal buruk untuk dua alasan. Pertama, perosesnya lebih lambat daripada pengomposan secara aerob, dan kedua, beberapa produknya, seperti ammonia dan hidrogen sulfida menimbulkan bau busuk (Thompson K, 2007)

Oksigen disediakan pada material kompos melalui aerasi. Mekanisme aerasi dapat sangat efektif, tetapi tidak sempurna. Dalam kenyataan, sebagian dari proses dekomposisi juga terjadi secara anaerob (tanpa O2). Proses anaerob berperan pada keseluruhan dekomposisi dari material kompos. Tetapi, dekomposisi anaerob yang berlebihan tidak diinginkan selama pengomposan karena menghasilkan degradasi yang tidak sempurna dan bau (Miller, 1993). Menyediakan kondisi aerasi yang baik meminimalkan bau yang berhubungan dengan proses anaerob dan menyempurnakan dekomposisi dari produk degradasi anaerobik parsial seperti asam organik, yang dapat berperan pada fitotoksisitas ketika kompos digunakan (Stoffella dan Kahn, 2001).

Kondisi yang dianjurkan untuk pengomposan
Kondisi
Batas yang layak
Batas yang dianjurkan
Rasio C/N Kelembaban
Konsentrasi O2
Ukuran Partikel
pH
Temperatur
20/1 – 40/1 40 – 65 % 1
>5 %
3 – 13
5.5 – 9.0
43 – 66
25/1 – 30/1 50 – 60 %
jauh lebih besar dari 5 %
Bervariasi 2
6.5 – 80
54 – 60
1 Rekomendasi untuk pengomposan cepat. Kondisi diluar batas tersebut dapat juga memberikan hasil yang baik
2 Tergantung pada material yang digunakan, ukuran tumpukan, dan keadaan lingkungan
(Rynk et al., 1992).

Dalam sistem pengomposan cepat (high-rate composting) yang diteliti oleh John R. Snell di Michigan State University, proses pengomposan dilakukan secara mekanis dalam rektor vertikal. Penelitiannya menunjukkan bahwa limbah padat pada tanah memberikan hasil pengomposan terbaik ketika rasio C/N dalam reaktor berada dibawah kisaran 50/1, pH di dalam reaktor dipertahankan pada kisaran 5.5 – 8.0, dengan kelembaban diantara 50 – 60%. inokulum mikrobia terbaik yang digunakan sebagai aktivator berasal dari kompos matang, jumlahnya antara 2 – 10% dari limbah padat yang dikomposkan. Kompos yang berada di dalam reaktor diaduk secara terus-menerus agar mendapat udara dengan baik. Udara ditiupkan ke dalam reaktor untuk menjaga supply oksigen bagi mikroorganisme. Temperatur dikontrol untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Professor Snell menemukan bahwa proses pengomposan selesai ketika sudah tidak ada peningkatan temperatur yang signifikan, tidak ada lagi kandungan nitrogen yang hilang, dan kompos tidak menghasilkan bau yang menyengat (McKinney, 2004). Sistem high-rate composting tersebut tidak cocok jika diterapkan dalam skala intustri, karena biaya yang dibutuhkan untuk proses pengomposan  akan sangat besar.

Parameter psikokhemis untuk kompos yang sudah matang sangat bervariasi. Yang paling penting adalah: pH (7.5 – 7.8); kelembaban (55 – 65%); kandungan residu kering (35 – 45%); kandungan abu (15 – 25%); total nitrogen ( 2 – 3%); kandungan ammonia (1.5 – 1.8%); kandungan nitrat (1 – 2%); total fosfor (2.5 – 3%); total potassium (1 – 1.2%); rasio C/N (20 – 30). Kandungan unsur mikro sebagai berikut: Cu (3–3.6), Zn (40–50), Co (0.05–0.1), Mn (40–45), dan Fe (100) (Neklyudov, A. D.  et al., 2008).

Pada proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit yang dilakukan di sebagian besar industri sawit, hal pertama yang dilakukan adalah pencacahan. TKKS dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan dengan memakai mesin pencacah. Kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 1 meter. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar per jam dapat memproduksi 60 ton kompos dari 100 ton tandan kosong sawit yang dihasilkan (Fauzi et al., 2002).

Proses pengomposan akan berlangsung dalam waktu 1,5 – 3 bulan. Kompos yang sudah matang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
  • Terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman
  • Suhu sudah turun dan mendekati suhu pada awal proses pengomposan
  • Jika diremas, TKKS mudah dihancurkan atau mudah putus serat-seratnya
Pengamatan secara kimia ditunjukkan dengan rasio C/N yang sudah turun. Rasio C/N awal TKKS berkisar antara 50-60. Setelah proses pengomposan rasio C/N akan turun dibawah 25. Apabila rasio C/N lebih tinggi dari 25 proses pengomposan belum sempurna. Pengomposan perlu dilanjutkan kembali sehingga rasio C/N di bawah 25 (Isroi, 2008).

Salah satu parameter penting dalam mempercepat proses pengomposan adalah ketersediaan O2. Pada sistem pengomposan, supply O2 dipenuhi melalui mekanisme aerasi. Aliran udara pada sistem pengomposan perlu dipertahankan pada 10 dan 30 cf/hari/lb vs muatan awal dari limbah padat yang dikomposkan. Terlalu sedikit aerasi menyebabkan kondisi anaerob terjadi, memperlambat proses pengomposan. Terlalu banyak aeasi akan menyebabkan kompos menjadi kering dan menghambat/menghentikan metabolisme. Kelembaban optimal pada kompos adalah diantara 55% dan 69% (McKinney, 2004).

Hal penting yang perlu diketahui dalam setiap proses pengomposan adalah selalu ada batas maksimal mengenai kecepatan proses pengomposan suatu material organik. Jika batas maksimal tersebut telah dicapai, perlakuan apapun yang diberikan terhadap sistem kompos tidak akan dapat mempercepat laju proses pengomposan. Sumber: http://akbar.blog.ugm.ac.id

Download


Referensi

Direktorat Jendral Perkebunan. 2008. Statistika Perkebunan Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id/. Diakses tanggal 20 juni 2008
Fauzi, Y., Widiastuti, YE., Setyawibawa, I., dan Hartono, R. 2002. Kelapa Sawit, Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta.
McKinney, Ross E. 2004. Environmental Pollution Control Microbiology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Neklyudov, A. D., Fedotov, G. N.,  dan Ivankin, A. N. 2008. Intensification of Composting Processes by Aerobic Microorganisms: A Review. Applied Biochemistry and Microbiology Vol. 44, No. 1.
Rynk, R.F., M. van de Kamp, Willson G.B., Singley, M.E., Richard, T.L., Kolega, J.J., Gouin, F.R., Laliberty, L.L., Kay, D., Murphy, D.W., Hoitink, H.A.J., dan Brinton, W.F. 1992. On-Farm Composting Handbook. Natural Resource, Agriculture, and Engineering Service (NRAES). Ithaca, New York.
Stoffella, Peter J dan Kahn, Brian A. 2001. Compost utilization in horticultural cropping systems. CRC Press LLC. Florida.
Thompson, K. 2007. COMPOST: The Natural Way to Make Food for Your Garden. DK Publishing. New York.