Senin, 15 April 2013

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)


Industri sawit di Tanah Air kita luar biasa perkembangannya. Dengan luas lahan sekitar 8,9 juta hektar dan total produksi tahun 2013 kurang lebih 23 juta ton, tak pelak jika negara kita masih mendominasi pasar sawit dunia. Setelah itu, baru Malaysia di posisi ke-2. Namun, pengelolaan perkebunan sawit kita masih jauh dari ideal, sehingga merusak lingkungan sekitar. Akibatnya, banyak tudingan miring, khususnya lembaga mancanegara terhadap sektor perkebunan ini.

Itulah sebabnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian berusaha meredam tudingan negatif tersebut dengan memberikan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan ISPO diharapkan menghindari dan mengurangi dampak pengrusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca, hingga pemicu deforestasi.

Lantas, apa bedanya ISPO dengan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO)? Sertifikasi internasional RSPO bersifat voluntary, untuk memenuhi permintaan pasar. Sebaliknya, ISPO bersifat mandatory atau wajib. Alhasil, akan ada sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan sertifi kasi ISPO.

Setidaknya ada tiga tujuan utama ISPO,” ujar Dr Rosediana Suharto, Sekretariat Komisi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia saat presentasi dalam Workshop Wartawan Nasional “Membangun Industri Kelapa Sawit  Berkelanjutan 2013″ yang digelar GAPKI . Pertama, meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki linkungan. Kedua, meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di luar negeri. Ketiga, mendukung program pengurangan gas rumah kaca dan menjadi persyaratan utama negara pembeli bagi plam oil biodesel.

Penilaian ISPO ada dua tahap. Pertama, peran pemerintah. Caranya, melakukan penilaian usaha perkebunan dan menentukan kelas kebun, kelas1,2,3 dapat mengajukan untuk disertifikasi. Kedua, lembaga independen. Ini dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh KAN atau punya kerja sama dengan KAN, perwakilan asing auditor harus memiliki izin kerja.

Apa saja persyaratan ISPO? Menurut Rosediana, ada tujuh kriteria, yaitu: sitem perizinan dan manajemen risiko 

(1); penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit
(2); penundaan izin lokasi pemberian hak atas tanah untuk usaha perkebunan 
(3); pengelolaan dan pemantauan lingkungan 
(4); tanggungjawab terhadap pekerja 
(5); tanggungjawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat 
(6); peningkatan usaha secara berkelanjutan 

Rosediana menegaskan, ISPO tidak akan memberatkan pengusaha karena peraturan-peraturan tersebut seharusnya sudah dipenuhi . “Ketentuan ISPO memiliki legal frame yang jelas. Sebagai ketentuan pemerintah, ISPO akan dinotifikasikan ke WTO agar diakui oleh seluruh anggota WTO,” ucapnya. Yang jelas, penerapan ISPO adalah mandatory untuk pasar lokal dan eskpor.

Kehadiran ISPO direspons positif oleh anggota GAPKI. Ya, bagi kalangan pengusaha kelapa sawit yang tergabung dalam GAPKI, sertifikat ISPO merupakan langkah awal dari bentuk pengakuan bahwa perkebunan sawit bisa dikelola secara lestari. Perusahaan sawit yang mendapat ISPO menandakan proses produksinya sudah memperhatikan keseimbangan alam, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal.

Sejauh ini, dari sekitar 8,6 juta lahan sawit, baru ada 100-200 ribu hektar saja yang sudah mengantongi sertifikat ISPO. Ada 10 perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memperoleh sertifikat bergengsi tersebut. 
 
Berikut ini nama 9 dari 10 perusahaan penerima ISPO : 
 
PT Musim Mas, 
PT Swadaya Andika, 
PT Laguna Mandiri, 
PT Ivomas Tunggal, 
PT Hindoli, 
PT Perkebunan Nusantara V, 
PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi, 
PT Gunung Sejahtera Dua Indah, 
PT Sari Aditya Loka 1. 
 
Untuk tiga perusahaan yang disebutkan terakhir merupakan perusahaan afiliasi PT Astra Agro Lestari Tbk.