Senin, 08 April 2013

Bisnis kebun sawit makin sempit

Sentimen negatif sepertinya belum beranjak dari emiten perkebunan. Kali ini berita buruk datang dari Kementerian Pertanian (Kemtan) yang merilis revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Beleid yang mengatur pembatasan kepemilikan lahan ini akan disahkan akhir April 2013. Kelak, setiap holding perusahaan perkebunan hanya dapat memiliki lahan maksimal 100.000 hektare (ha). Aturan sebelumnya, pembatasan kepemilikan 100.000 ha cuma berlaku untuk satu perusahaan saja.

Analis Mega Capital Indonesia, Arief Fahruri mengatakan, pembatasan ekspansi lahan ini jelas berdampak negatif bagi emiten kelapa sawit. Maklum, ketersediaan lahan merupakan salah satu ukuran penting dalam bisnis kelapa sawit. Beleid ini bisa membuat prospek pertumbuhan jangka panjang emiten sawit akan terhambat. Tapi, Arief menilai, aturan ini lebih memberikan dampak signifikan bagi emiten dengan lahan kecil.

Sementara, emiten dengan lahan luas masih bisa menjaga pertumbuhan dengan beberapa strategi. Misalnya, dengan meremajakan tanaman alias replanting. Atau bisa juga dengan menanam sawit di lahan yang belum tergarap.

Arief memberi catatan, emiten yang memiliki cadangan lahan luas diantaranya PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Selain itu grup Indo Agri seperti PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Ada juga grup PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO).

Sedangkan, emiten yang memiliki cadangan lahan kecil seperti PT BW Plantation Tbk (BWPT) dan PT Provident Agro Tbk (PALM).

Tidak berlaku surut

Revisi Permentan sendiri tidak berpengaruh pada emiten yang sudah lama berbisnis kelapa sawit. Sebab, kebijakan ini tidak berlaku surut.

Jadi, grup perusahaan yang sebelumnya sudah memiliki lahan di atas 100.000 ha tidak harus menjual asetnya. Analis OSK Securities, Yuniv Trenseno menuturkan, emiten dengan lahan besar juga diuntungkan dengan kenaikan harga lahan yang signifikan.

Yuniv lebih menyenangi SGRO yang memiliki cadangan lahan luas. Anak usaha milik Grup Sampoerna ini memiliki total lahan 222.000 ha.

Dari luas tersebut, seluas 115.000 ha sudah tertanam, 47.000 ha lahan masih berstatus siap tanam. Sisanya, seluas 60.000 ha belum jelas penggunaannya.

Beda halnya dengan BWPT yang hanya memiliki cadangan 42.000 ha lahan dari total keseluruhan milik BWPT seluas 102.000 ha. "Perusahaan baru akan lebih sulit tumbuh jika aturan ini diterapkan," ujar Yuniv.

Analis Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto bilang, tanpa aturan pembatasan lahan, ekspansi emiten sawit sebenarnya sudah melambat. Apalagi, biaya penanaman dan pembebasan lahan makin mahal. Desakan organisasi lingkungan membatasi ekspansi lahan pun mulai diperhatikan internasional.

Lantaran biaya tanam mahal, BWPT hanya menargetkan menanam lahan baru seluas 4.000 ha di tahun ini. Padahal, BWPT biasa menanam seluas 10.000 ha - 13.000 ha per tahun. Begitu juga dengan AALI yang sejak tiga tahun terakhir hanya menanam 5.000 ha per tahun. Padahal, AALI biasa menanam hingga 22.000 ha per tahun.

Menurut Arief, beleid pembatasahn lahan ini bisa saja gagal. Sebab, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bakal menggugat aturan tersebut. Permasalahan serupa pernah terjadi pada industri perkebunan karet. Saat itu, pemerintah ingin membatasi lahan karet dengan membuka areal hutan tapi aturan sulit dilakukan.