MEDAN – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia mendukung penuh revisi aturan perkebunan terutama luas, perizinan, dan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad menegaskan sudah sejak lama Apkasindo menginginkan adanya revisi terhadap Permentan No. 26/2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
“Selama ini batasan areal 100.000 hektare tidak berlaku untuk investor asing, sehingga perkebunan di Indonesia dirajai oleh investor dari Singapura dan Malaysia. Karena pembatasan yang dibuat pada Permentan 100.000 hektare untuk setiap provinsi,” ujarnya menjawab Bisnis, Kamis (4/4).
Sebelumnya Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan Kementerian Pertanian dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) telah merampungkan draf final untuk revisi permentan No. 26/2007.
Menurut Asmar asosiasi yang dipimpinnya sudah pernah mengajukan surat kepada UKP4 agar secepatnya merevisi Permetan No. 26 Tahun 2007 khususnya penguasaan lahan perkebunan, perizinan, dan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma.
Kalau draf revisi tersebut sudah rampung, paparnya, sebaiknya cepat diteken, sehingga tidak dipengaruhi oleh para pemain perkebunan skala besar yang ingin menguasai lahan perkebunan di Indonesia.
Pedoman luasan perkebunan yang dibatasi per group perusahaan yang masih mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham sebuah perusahaan patut didukung semua pihak.
“Kalau perlu perkebunan sawit untuk asing ditutup saja, sehingga areal yang tersisa diperuntukkan kepada petani,” tuturnya.
Khusus mengenai perizinan yang mengharuskan rekomendasi dari Dirjenbun, menurut Asmar, juga tepat karena setelah otonomi daerah bupati sesuka hati untuk memberikan perizinan kepada kelompok usaha tertentu tanpa mengindahkan aturan yang lebih tinggi.
“Raja-raja kecil di daerah mengabaikan aturan yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan tumbang tindih lahan perkebunan di daerah,” tuturnya.
Kemudian, paparnya, soal kewajiban perusahaan yang mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) mengalokasikan lahan 20% untuk kebun plasma sebenarnya sudah bagus, namun dalam implementasinya di lapangan kurang mendapatkan pengawasan dari pemerintah.
“Coba Anda perhatikan dan lihat di lapangan. Seberapa banyak perusahaan perkebunan yang memenuhi ketentuan tersebut? Apalagi perkebunan asing, tidak ada yang memenuhi kewajiban mengalokasikan 20% lahan untuk plasma. Jadi, dalam hal ini pengawasannya harus dipertegas dan sanksi kepada perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi kewajibannya diperberat,” tuturnya.
Dia mencontontohkan jika perusahaan tidak mengalokasikan arealnya untuk plasma, maka izin usaha perkebunannya dicabut atau kebunnya disita dan dibagikan kepada petani sesuai aturan yang berlaku.
“Kalau sanksinya tidak tegas, maka kewajiban membangun perkebunan plasma hanya indah bagus di atas kertas,” tuturnya.
Asmar mengusulkan hal yang lebih ekstrem dalam revisi aturan perkebunan tersebut.
“Sebaiknya perusahaan asing jangan lagi diberikan IUP karena lahan yang tersedia semakin sempit, sedangkan penduduk Indonesia semakin bertambah. Jadi yang dikembangkan di Indonesia adalah perkebunan skala kecil yang mengalokasikan lahan untuk petani minimal 25 hektare untuk satu kepala keluarga,” tandasnya. (esu)
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad menegaskan sudah sejak lama Apkasindo menginginkan adanya revisi terhadap Permentan No. 26/2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
“Selama ini batasan areal 100.000 hektare tidak berlaku untuk investor asing, sehingga perkebunan di Indonesia dirajai oleh investor dari Singapura dan Malaysia. Karena pembatasan yang dibuat pada Permentan 100.000 hektare untuk setiap provinsi,” ujarnya menjawab Bisnis, Kamis (4/4).
Sebelumnya Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan Kementerian Pertanian dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) telah merampungkan draf final untuk revisi permentan No. 26/2007.
Menurut Asmar asosiasi yang dipimpinnya sudah pernah mengajukan surat kepada UKP4 agar secepatnya merevisi Permetan No. 26 Tahun 2007 khususnya penguasaan lahan perkebunan, perizinan, dan kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma.
Kalau draf revisi tersebut sudah rampung, paparnya, sebaiknya cepat diteken, sehingga tidak dipengaruhi oleh para pemain perkebunan skala besar yang ingin menguasai lahan perkebunan di Indonesia.
Pedoman luasan perkebunan yang dibatasi per group perusahaan yang masih mempunyai keterkaitan dengan pemegang saham sebuah perusahaan patut didukung semua pihak.
“Kalau perlu perkebunan sawit untuk asing ditutup saja, sehingga areal yang tersisa diperuntukkan kepada petani,” tuturnya.
Khusus mengenai perizinan yang mengharuskan rekomendasi dari Dirjenbun, menurut Asmar, juga tepat karena setelah otonomi daerah bupati sesuka hati untuk memberikan perizinan kepada kelompok usaha tertentu tanpa mengindahkan aturan yang lebih tinggi.
“Raja-raja kecil di daerah mengabaikan aturan yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan tumbang tindih lahan perkebunan di daerah,” tuturnya.
Kemudian, paparnya, soal kewajiban perusahaan yang mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) mengalokasikan lahan 20% untuk kebun plasma sebenarnya sudah bagus, namun dalam implementasinya di lapangan kurang mendapatkan pengawasan dari pemerintah.
“Coba Anda perhatikan dan lihat di lapangan. Seberapa banyak perusahaan perkebunan yang memenuhi ketentuan tersebut? Apalagi perkebunan asing, tidak ada yang memenuhi kewajiban mengalokasikan 20% lahan untuk plasma. Jadi, dalam hal ini pengawasannya harus dipertegas dan sanksi kepada perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi kewajibannya diperberat,” tuturnya.
Dia mencontontohkan jika perusahaan tidak mengalokasikan arealnya untuk plasma, maka izin usaha perkebunannya dicabut atau kebunnya disita dan dibagikan kepada petani sesuai aturan yang berlaku.
“Kalau sanksinya tidak tegas, maka kewajiban membangun perkebunan plasma hanya indah bagus di atas kertas,” tuturnya.
Asmar mengusulkan hal yang lebih ekstrem dalam revisi aturan perkebunan tersebut.
“Sebaiknya perusahaan asing jangan lagi diberikan IUP karena lahan yang tersedia semakin sempit, sedangkan penduduk Indonesia semakin bertambah. Jadi yang dikembangkan di Indonesia adalah perkebunan skala kecil yang mengalokasikan lahan untuk petani minimal 25 hektare untuk satu kepala keluarga,” tandasnya. (esu)