Rabu, 10 April 2013

Hentikan Pembukaan Perkebunan Sawit

JAMBI - Pemerhati lingkungan hidup yang juga Direktur Yayasan Prespektif Baru, Wimar Witoelar, mengatakan, sudah saatnya upaya pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dihentikan.

"Tidak hanya perkebunan sawit yang merupakan tanaman monokultur yang tidak ramah lingkungan, namun juga sebagian besar upaya pembukaan kebun sawit lebih banyak merambah kawasan hutan," ujar Wilmar usai mengisi diskusi dengan tema “Masa Depan Hutan Ada di Tangan Generasi Muda” di Universitas Jambi, Jambi, Selasa.

Menurut dia, jika tidak segera diambil langkah yang tepat, sejumlah daerah di Indonesia akan semakin terancam bencana ekologi seperti banjir dan kekeringan yang semakin parah.

Diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara Manajer Program Kebijakan dan Advokasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Diki Kurniawan, Legal and Institutional Spesialist Satuan Tugas REDD, Gita Syahrani, dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Syamsurizal Tan.

Diskusi itu lebih menekankan pada perhatian sudut pandang untung-ruginya perkebunan sawit di Indonesia, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat secara umum.

Diki Kurniawan memaparkan, kawasan hutan di Provinsi Jambi, dengan luas sekitar 2,1 juta hektare. Areal itu mencakup 1,1 juta hektare kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selebihnya, merupakan kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi.

"Kondisi tutupan hutan di Provinsi Jambi saat ini sudah sangat memprihatinkan. Antara lain akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri secara berlebihan dan tanpa memperhatikan dampaknya. Wajar saja bila musim hujan mengalami banjir dan sebaliknya kemarau mengakibatkan kekeringan," jelasnya.

Sementara itu, Gita Syahrani menyoroti tentang banyaknya terjadi konflik lahan, antara perusahaan dengan masyarakat.

Menurut Gita, data dari Kementrian Pertanian mencatat, dari 1.000 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, 59 persen di antaranya terlibat konflik.

"Secara teoritis penyebab konflik, perusahaan membutuhkan lahan luas, sementara lahan tersebut dalam penguasaan masyarakat," ujarnya.

Penyebab konflik ini, antara lain sebagai akibat kurang tegasnya pengaturan dan konsistensi tata ruang di tiap level pemerintahan. Kemudian, tidak jelasnya status lahan dan bukti pemilikan, serta kurangnya kebijakan pengaman lingkungan, sosial dan ekonomi yang memadai.

Upaya mengatasi itu semua, dibutuhkan keterlibatan masyarakat secara keseluruhan, termasuk kalangan mahasiswa. Untuk itu, semua pihak hendaknya terus ikut memantau dalam kegiatan penyusunan dan pengesahan tata ruang di setiap daerah.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Syamsurizal Tan, menilai pembukaan perkebunan kelapa sawit secara luas di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi, tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat secara umum.

"Kebun kelapa sawit hanya menguntungkan pemilik perusahaan, sementara masyarakat di level menengah ke bawah bahkan dirugikan," katanya.

Kondisi ini terjadi, karena masyarakat di sekitar kebun sendiri tidak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan maupun kepemilikan. Tidak itu saja, pembukaan kawasan perkebunan juga mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup. (Investor Daily/tk/ant)