Senin, 19 November 2012

Prospek Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia


Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang sangat diperlukan sebagai kegiatan  pembangunan subsektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian.  Perkembangan pada berbagai subsistem yang sangat pesat pada agribisnis kelapa sawit sejak menjelang akhir tahun 1970-an menjadi bukti pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit.  Dalam dokumen praktis ini digambarkan prospek pengembangan agribisnis saat ini hingga tahun 2010, dan arah pengembangan hingga tahun 2025.  Masyarakat luas, khususnya petani, pengusaha, dan pemerintah dapat menggunakan dokumen praktis ini sebagai acuan. 
 
Dokumen praktis ini didahului dengan penyajian peranan sektor pertanian, subsektor perkebunan, dan agribisnis kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang diusahakan  oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta. Pada tahun 2003, luas areal  perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Ditinjau dari bentuk pengusahaannya, perkebunan rakyat (PR) memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12%), perkebunan besar negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton (15,7 %), dan perkebunan besar swasta (PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%). Produksi CPO juga menyebar dengan  perbandingan 85,55% Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2%, Sulawesi, dan 1% wilayah  lainnya.  Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas perkebunan rakyat sekitar 2,73 ton CPO/ha, perkebunan  negara 3,14 ton CPO/ha, dan perkebunan swasta 2,58 ton CPO/ha.

Pengembangan agribisnis kelapa sawit ke depan juga didukung secara handal oleh 6 produsen benih dengan  kapasitas 124 juta per tahun.  Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT. Socfin, PT. Lonsum, PT. Dami Mas, PT. Tunggal Yunus, dan PT. Bina Sawit Makmur masing-masing mempunyai kapasitas 35 juta, 25 juta, 15 juta, 12 juta, 12 juta, dan 25 juta.  Permasalahan benih palsu diyakini dapat teratasi melalui langkah-langkah sistematis dan strategis yang telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara hatihati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit. Dalam hal industri pengolahan, industri pengolahan CPO telah berkembang dengan pesat. Saat ini jumlah unit pengolahan di seluruh Indonesia mencapai 320 unit dengan kapasitas olah 13,520 ton  TBS per jam.  Sedangkan industri pengolahan produk turunannya, kecuali minyak goreng,  masih belum berkembang, dan kapasitas terpasang baru sekitar 11 juta ton.  Industri oleokimia Indonesia sampai tahun 2000 baru memproduksi olekimia 10,8% dari produksi
dunia.

Dalam perdagangan CPO, Indonesia merupakan negara net exporter dimana impor dari Malaysia dilakukan hanya pada saat-saat tertentu.  Ekspor Indonesia masih di bawah Malaysia dimana pada tahun 2002 hanya mencapai 6,3 juta ton atau sekitar 32,64% lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai 11,2 juta ton atau sekitar 57,28% dari total ekspor dunia.  Sementara itu, impor CPO mulai menyebar ke berbagai negara dan Indonesia mengandalkan pasar di Belanda dan Pakistan.  Neraca perdagangan CPO, baik dunia maupun Indonesia, saat ini cenderung berada pada posisi  seimbang.  Harga pada beberapa tahun terakhir cenderung meningkat baik di pasar internasional dan domestik. Guna mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit, peranan lembaga penelitian dan pengembangan perkebunan, kelembagaan dan kebijakan pemerintah cukup strategis.  Lembaga penelitian dan pengembangan perkebunan hingga saat ini telah berperan nyata melalui berbagai inovasi teknologi.  Inovasi tersebut  mulai dari subsistem hulu, usahatani, hingga pengolahan produk hilir.  Pada aspek kelembagaan, berbagai organisasi, aturan dan pelaku usaha mulai berkembang.  Sedangkan pada aspek kebijakan, beberapa kebijakan perlu diperhatikan, khususnya kebijakan fiskal (perpajakan dan retribusi), dan perijinan investasi.

prospek, potensi, dan arah pengembangan agribisnis  kelapa  sawit.    Secara  umum dapat diindikasikan bahwa pengembangan agribisnis kelapa sawit masih mempunyai  prospek, ditinjau dari prospek harga, ekspor dan pengembangan produk.  Secara internal, pengembangan agribisnis kelapa sawit didukung potensi kesesuaian dan ketersediaan lahan, produktivitas yang masih dapat meningkat dan semakin berkembangnya industri hilir.  Dengan prospek dan potensi ini, arah pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah pemberdayaan di hulu dan penguatan di hilir

tujuan dan sasaran pengembangan agribisnis tahun 2005-2010.  Sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan utama pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah
1) menumbuhkembangkan usaha kelapa sawit di pedesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan
2) menumbuhkan industri pengolahan CPO  dan produk turunannya serta industri penunjang (pupuk, obata-obatan dan alsin) dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah CPO dan produk turunannya.  Sedangkan sasaran utamanya adalah 1) peningkatan produktivitas menjadi 15 ton  TBS/ha/tahun, 2) pendapatan petani antara US$ 1,500 – 2,000/KK/tahun, dan 3) produksi mencapai 15,3 juta ton CPO dengan alokasi domestik 6 juta ton.   

Kebijakan, strategi dan program pengembangan agribisnis perkebunan.  Arah kebijakan jangka panjang adalah pengembangan sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.  Dalam jangka menengah kebijakan pengembangan agribisnis kelapa sawit meliputi peningkatan produktivitas dan mutu, pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah, serta penyediaan dukungan dana pengembangan.  

Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit diantaranya adalah integrasi vertikal dan horisontal perkebunan kelapa sawit dalam rangka peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha pengolahan kelapa sawit di pedesaan, menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka pemanfaatan sumber daya perkebunan,  dan pengembangan pasar.  Strategi tersebut didukung dengan penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) dan kebijakan pemerintah yang kondusif untuk peningkatan kapasitas agribisnis kelapa sawit.  Dalam implementasinya, strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit didukung dengan program-program yang komprehensif dari berbagai aspek manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan (perbenihan, budidaya dan pemeliharaan, pengolahan hasil, pengembangan usaha, dan pemberdayaan masyarakat) hingga evaluasi.

Kebutuhan investasi pengembangan agribisnis kelapa sawit untuk pembagunan 350.000 ha kebun plasma dan inti dan 58 unit pengolahan CPO di Indonesia Barat dan Timur, peremajaan 100.000 ha kebun di kedua wilayah (tanpa pembangunan unit pengolahan)  dan kebutuhan investasi industri biosiesel kapasitas.  Pembangunan dilaksanakan setiap tahun dari tahun 2006 hingga 2010 dengan investor petani plasma, perusahaan inti dan pemerintah.     

Kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit 350.000 ha per tahun untuk lima tahun ke depan adalah Rp.  73.462.679.150.000 (Rp. 73,46 trilyun).  Kebutuhan investasi di Indonesia Barat (150.000 ha) adalah Rp. 29.030.510.250.000  (investasi petani plasma sebesar Rp. 16.831.607.940.000, perusahaan inti sebesar  Rp. 9.393.827.310.000 dan pemerintah sebesar Rp.    2.805.075.000.000).  Kebutuhan investasi di Indonesia Timur (200.000 ha) adalah Rp. 44.432.168.900.000 (investasi petani plasma sebesar Rp. 25.433.332.660.000, perusahaan inti sebesar Rp. 15.882.086.240.000 dan pemerintah sebesar Rp. 3.116.750.000.000).

Kebutuhan investasi untuk peremajaan kebun kelapa sawit 100.000 ha per tahun untuk lima tahun ke depan adalah Rp.  14.611.495.686.000 (Rp. 14,6 trilyun).  Kebutuhan investasi untuk  peremajaan 80.000 ha di Indonesia Barat adalah Rp. 10.751.856.210.000  (investasi petani plasma sebesar Rp. 7.963.955.769.000, perusahaan inti sebesar Rp. 2.437.987.941.000 dan pemerintah sebesar Rp. 349.912.500.000).  Kebutuhan investasi untuk peremajaan 20.000 ha di Indonesia Timur adalah  Rp.3.859.639.476.000 (investasi petani plasma sebesar Rp. 3.005.753.730.000, perusahaan inti sebesar Rp. 741.010.746 dan pemerintah sebesar Rp. 112.875.000.000).  

Dalam implementasinya, pengembangan agribisnis kelapa sawit baik melalui perluasan maupun peremajaan menerapkan pola pengembangan inti-plasma dengan penguatan kelembagaan melalui  pemberian kesempatan kepada petani plasma sebagai pemilik saham perusahaan.  Pemilikan saham ini dilakukan melalui cicilan pembelian saham dari hasil potongan penjualan hasil atau dari hasil outsourcing dana oleh organisasi petani.

Kebutuhan investasi untuk pengembangan pabrik biodiesel kapasitas 6.000 ton per tahun (6.600 kl per tahun) dan kapasitas 100.000 ton per tahun (110.000  kl per tahun) masing-masing adalah Rp.  12 milyar dan Rp. 180 milyar.  Apabila setiap tahun dibangun 1 pabrik skala kecil dan besar, maka total biaya investasi yang diperlukan dalam 5 tahun ke depan Rp. 860 milyar. Nilai investasi tersebut diperlukan untuk membeli peralatan dan mendirikan bangunan pabrik. 

Dukungan kebijakan sarana dan prasarana serta regulasi.  Dukungan kebijakan diharapkan diperoleh dari Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Deparetemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Negara BUMN, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kantor Menteri Negara Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi, Pemerintah  Daerah, dan Kejaksaan Agung serta Kepolisian.