Dalam acara ILC yang mengupas tandas kasus gratifikasi Bupati Buol, secara tak langsung kasus itu mengangkat isu negatif perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Acara talkshow yang dipandu Karni Ilyas itu - dan penulis menontonnya dari awal sampai akhir - terkejut mendengar berbagai pendapat tokoh. Bahwa kelapa sawit telah menjadi malapetaka bagi Rakyat Indonesia, bahwa masyarakat di sekitar perkebunan hanya gigit jari, menjadi penonton di tanah leluhurnya sendiri. Bahwa pembukaan perkebunan telah mengakibatkan kerusakan hutan yang masif, bahwa kebun kelapa sawit seharusnya diberantas dari Bumi Indonesia…..
Anggota DPR bertubuh tambun, secara berapi-api mengatakan, di kampungnya, di Pasaman, puluhan desa digusur oleh perusahaan perkebunan, masyarakat tercerabut dari sumber kehidupannya. Janji pengusaha untuk memberikan 30 % lahan plasma kepada masyarakat sekitarnya hanyalah pepesan kosong belaka, tak pernah ada realisasinya. Akbar Faisal dari Partai Hanura mendukung sinyalemen itu. Karni Ilyas sendiri sebagai jurnalis senior, meneteskan kebenciannya terhadap kebun kelapa sawit. Sedangkan Sujiwo Tejo sebagai budayawan, menyuarakan pendapat yang lebih menusuk: “Tidak semestinya Indonesia bangga dengan predikat pemasok minyak goreng dunia. Menciptakan lapangan kerja dengan merusak hutan. Seharusnya masyarakat lebih mengandalkan lapangan kerja dari pengembangan pariwisata, kesenian, menari, bermain musik……”
Untuk pertama kalinya saya melihat Sujiwo Tejo, ternyata dangkal!
Penulis tak tahu darimana mereka mendapat fakta-fakta itu. Apakah dari pemberitaan, dari isu-isu yang ditiupkan LSM, dari kerabat mereka, atau dengan melihatnya secara langsung. Karena bagi saya sendiri yang mengelola 10 hektar kebun sawit eks-plasma, persoalan yang dihadapi sangat jauh dari itu, meskipun pada akhirnya menimbulkan permasalahan serupa.
Yang pertama, seluruh perkebunan itu telah melewati prosedur administrasi tertentu menyangkut perijinan, studi kelayakan dan segala hal yang diperlukan, dengan Bupati sebagai pengambil kata putus. Bupati adalah Kepala daerah sekaligus Ketua Majelis Adat/Raja Adat. Siapa pula yang berani menentang Bupati jaman sekarang ini? Hampir seluruh perkebunan itu dibuka dengan inisiatif pertama datang dari Bupati, dengan maksud luhur memacu pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Dengan demikian jika terdapat bukti perkebunan telah merambah Hutan Lindung atau menciptakan kesengsaraan di tengah masyarakat, maka Bupati dan perangkatnya dapat diseret sebagai terdakwa utama! Oleh: Add. Tengkubintang, petani, tinggal di Sumatera.
Yang kedua, perbandingan Kebun Inti dan Kebun Plasma adalah 50 : 50. Setiap perkebunan berkewajiban mengalokasikan setengah dari kebun yang dibukanya untuk masyarakat sekitarnya. Jika lahan yang dibuka itu telah ada pemiliknya sebelumnya, maka petani secara langsung mendapatkan haknya dengan bukti surat peserta plasma. Tetapi bagaimana jika kebun yang hendak dibuka itu adalah hutan belantara atau rawa-rawa tak berpenghuni, sementara aturan 50 : 50 mesti dijalankan? Untuk menyiasatinya, muncullah inisiatif merekayasa Desa Fiktif, KUD Fiktif, ribuan KTP fiktif. Kartu tanda peserta plasma ini nantinya akan dikuasai oleh oknum-oknum yang membuatnya, termasuk oknum Kepala Desa, Oknum Tokoh Masyarakat, Oknum Pejabat, dan lain-lain. Surat-surat fiktif ini nantinya akan diperjualbelikan kepada masyarakat pendatang. (Ingat, seorang Haji dalam acara ILC ketika membahas kasus Mesuji, ia adalah warga Palembang yang menguasai 400 hektar kebun plasma yang dipersengketakan). Saling tuding memperebutkan Kartu Plasma fiktif inilah yang acap mengawali pertikaian, lalu menjelma menjadi persoalan besar di belakang hari. Bagi Anda yang tidak percaya dengan kenyataan ini silakan datang ke sekitar perkebunan, niscaya akan menemukan surat-surat plasma ramai diperjualbelikan.
Kembali ke soal Kebun Plasma, tentu saja manajemen perkebunan membangunnya dengan pinjaman dari bank. Konsekwensinya adalah, pengelola kebun berkewajiban merawat kebun plasma itu sebagaimana kebun inti, hingga panen. Setelah panen pun, petani plasma tetap tidak diijinkan merawat dan memanennya, untuk tertib administrasi. Petani plasma duduk manis saja di rumah, menunggu dikirimi 30 % dari hasil panen. Sedangkan yang 70 % dianggap sebagai biaya pemeliharaan sekaligus pengembalian modal bank. Jika petani ingin langsung mengambil alih kebunnya, dipersilakan, dengan perhitungan setiap batang kelapa sawit dihargai Rp. 1.800.000.- (sekarang ini). Jika tidak, tunggulah sampai 13 tahun, sampai kewajiban bank selesai, kemudian diserahkan utuh kepada petani.
Pada tahap ini mulai muncul beragam persoalan. Petani plasma yang merasa memiliki hak atas kebun, tidak peduli dengan turun-naiknya harga TBS kelapasawit atau panen yang menurun akibat cuaca atau fluktuasi musim, jika melihat rekeningnya di bank tidak bertambah maka ia mulai protes. Lebih-lebih jika dikompori oleh LSM provokator, dengan mengandalkan jumlah massa mereka ramai-ramai memasuki kebun sawit dan mulai memanen sendiri. Tentu saja akan timbul persoalan dengan manajemen perkebunan!
Yang ketiga, menyebut kelapa sawit sebagai tanaman perusak lingkungan. Penyebab kekeringan, rakus terhadap unsur hara tanah, dan sebagainya. Mungkin ada benarnya, tak ada sesuatu pun dapat dilakukan tanpa efek samping. Namun perlu dicatat, bahwa daerah Pematang Siantar, Rantau Prapat, Kisaran, Ujungbatu, Pekanbaru dan Jambi adalah daerah dengan sentra-sentra kebun kelapa sawit sejak dahulu. Hingga kini tak pernah terdengar daerah itu kekeringan, juga tidak menjadi tandus. Justru di Wonogiri dan Tengger yang tak ada kelapa sawit setiap tahun mengalami bencana kekeringan.
Yang keempat, keberadaan kebun kelapa sawit sangatlah berperan membangkitkan perekonomian masyarakat pedesaan. Kebun sawit adalah arena padat karya. Tak terhitung banyaknya warga masyarakat yang mencari penghidupan di perkebunan sawit, sebagai buruh maupun sebagai pegawai. Bagi yang berkeinginan membuka kebun sendiri, secara plasma atau pun mandiri, tak perlu khawatir karena hasil panen dapat dijual ke pabrik perkebunan. Tak sedikit warga pedesaan yang berkesempatan naik haji dengan mengandalkan penghasilan kebun sawitnya, cukup 4 hektar saja. Tentu, bagi petani yang gigih bekerja mensyukuri Nikmat Tuhan. Sedangkan petani yang tak suka bertani, yang gemar bersolek, yang kerjanya hanya bergunjing dan menggerutu, maka baginya tak ada penghasilan kecuali menunggu uluran tangan orang lain. Penting disadari, di desa-desa pun tak kurang banyaknya manusia yang potensial menjadi koruptor, gemar mengambil makanan dari piring orang lain!
Akan tetapi setiap usaha pastilah ada tantangannya. Hidup ini tidak semudah kelihatannya. Di berbagai bidang kehidupan selalu ada kesulitan, tantangan, dan oknum-oknum tukang bikin gara-gara. Dan, sungguh, bertani itu tidak mudah. Tak ada petani gurem menjadi kaya-raya. Kalau bertani itu mudah, sudah kaya raya Bangsa Indonesia itu sejak dahulu kala.
Pada akhirnya penulis hendak memastikan bahwa ketetapan Tanah Air Indonesia sebagai Negara Agraris adalah Sabda Alam. Suka atau tak suka, mau atau tak mau. Pada saat sekarang kita dapat bermanja-manja menolak menjadi bangsa petani, bangga menjadi importir jagung, kedelai dan segala bahan pangan lainnya. Akan tetapi pada titik tertentu nanti, masyarakat dunia akan menuntut Bangsa Indonesia memasok pangan bagi dunia. Jika tetap menolak, maka bangsa lain akan datang untuk menggarapnya. Kemudian akan terjadi ‘tanam paksa’ jilid dua, dimana Bangsa Indonesia terpaksa menjadi babu di tanah airnya, atau terpaksa terjun ke laut dan berevolusi menjadi lumba-lumba….
Untuk Sujiwo Tejo, ia bisa beroleh nafkah dengan mengelus-elus terompetnya. Tetapi untuk kebanyakan Masyarakat Indonesia, tergila-gila bermain musik adalah sumber malapetaka. Jika kita lapar, kita tak bisa mengandalkan terompet, karena terompet tak bisa dimakan!
Anggota DPR bertubuh tambun, secara berapi-api mengatakan, di kampungnya, di Pasaman, puluhan desa digusur oleh perusahaan perkebunan, masyarakat tercerabut dari sumber kehidupannya. Janji pengusaha untuk memberikan 30 % lahan plasma kepada masyarakat sekitarnya hanyalah pepesan kosong belaka, tak pernah ada realisasinya. Akbar Faisal dari Partai Hanura mendukung sinyalemen itu. Karni Ilyas sendiri sebagai jurnalis senior, meneteskan kebenciannya terhadap kebun kelapa sawit. Sedangkan Sujiwo Tejo sebagai budayawan, menyuarakan pendapat yang lebih menusuk: “Tidak semestinya Indonesia bangga dengan predikat pemasok minyak goreng dunia. Menciptakan lapangan kerja dengan merusak hutan. Seharusnya masyarakat lebih mengandalkan lapangan kerja dari pengembangan pariwisata, kesenian, menari, bermain musik……”
Untuk pertama kalinya saya melihat Sujiwo Tejo, ternyata dangkal!
Penulis tak tahu darimana mereka mendapat fakta-fakta itu. Apakah dari pemberitaan, dari isu-isu yang ditiupkan LSM, dari kerabat mereka, atau dengan melihatnya secara langsung. Karena bagi saya sendiri yang mengelola 10 hektar kebun sawit eks-plasma, persoalan yang dihadapi sangat jauh dari itu, meskipun pada akhirnya menimbulkan permasalahan serupa.
Yang pertama, seluruh perkebunan itu telah melewati prosedur administrasi tertentu menyangkut perijinan, studi kelayakan dan segala hal yang diperlukan, dengan Bupati sebagai pengambil kata putus. Bupati adalah Kepala daerah sekaligus Ketua Majelis Adat/Raja Adat. Siapa pula yang berani menentang Bupati jaman sekarang ini? Hampir seluruh perkebunan itu dibuka dengan inisiatif pertama datang dari Bupati, dengan maksud luhur memacu pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Dengan demikian jika terdapat bukti perkebunan telah merambah Hutan Lindung atau menciptakan kesengsaraan di tengah masyarakat, maka Bupati dan perangkatnya dapat diseret sebagai terdakwa utama! Oleh: Add. Tengkubintang, petani, tinggal di Sumatera.
Yang kedua, perbandingan Kebun Inti dan Kebun Plasma adalah 50 : 50. Setiap perkebunan berkewajiban mengalokasikan setengah dari kebun yang dibukanya untuk masyarakat sekitarnya. Jika lahan yang dibuka itu telah ada pemiliknya sebelumnya, maka petani secara langsung mendapatkan haknya dengan bukti surat peserta plasma. Tetapi bagaimana jika kebun yang hendak dibuka itu adalah hutan belantara atau rawa-rawa tak berpenghuni, sementara aturan 50 : 50 mesti dijalankan? Untuk menyiasatinya, muncullah inisiatif merekayasa Desa Fiktif, KUD Fiktif, ribuan KTP fiktif. Kartu tanda peserta plasma ini nantinya akan dikuasai oleh oknum-oknum yang membuatnya, termasuk oknum Kepala Desa, Oknum Tokoh Masyarakat, Oknum Pejabat, dan lain-lain. Surat-surat fiktif ini nantinya akan diperjualbelikan kepada masyarakat pendatang. (Ingat, seorang Haji dalam acara ILC ketika membahas kasus Mesuji, ia adalah warga Palembang yang menguasai 400 hektar kebun plasma yang dipersengketakan). Saling tuding memperebutkan Kartu Plasma fiktif inilah yang acap mengawali pertikaian, lalu menjelma menjadi persoalan besar di belakang hari. Bagi Anda yang tidak percaya dengan kenyataan ini silakan datang ke sekitar perkebunan, niscaya akan menemukan surat-surat plasma ramai diperjualbelikan.
Kembali ke soal Kebun Plasma, tentu saja manajemen perkebunan membangunnya dengan pinjaman dari bank. Konsekwensinya adalah, pengelola kebun berkewajiban merawat kebun plasma itu sebagaimana kebun inti, hingga panen. Setelah panen pun, petani plasma tetap tidak diijinkan merawat dan memanennya, untuk tertib administrasi. Petani plasma duduk manis saja di rumah, menunggu dikirimi 30 % dari hasil panen. Sedangkan yang 70 % dianggap sebagai biaya pemeliharaan sekaligus pengembalian modal bank. Jika petani ingin langsung mengambil alih kebunnya, dipersilakan, dengan perhitungan setiap batang kelapa sawit dihargai Rp. 1.800.000.- (sekarang ini). Jika tidak, tunggulah sampai 13 tahun, sampai kewajiban bank selesai, kemudian diserahkan utuh kepada petani.
Pada tahap ini mulai muncul beragam persoalan. Petani plasma yang merasa memiliki hak atas kebun, tidak peduli dengan turun-naiknya harga TBS kelapasawit atau panen yang menurun akibat cuaca atau fluktuasi musim, jika melihat rekeningnya di bank tidak bertambah maka ia mulai protes. Lebih-lebih jika dikompori oleh LSM provokator, dengan mengandalkan jumlah massa mereka ramai-ramai memasuki kebun sawit dan mulai memanen sendiri. Tentu saja akan timbul persoalan dengan manajemen perkebunan!
Yang ketiga, menyebut kelapa sawit sebagai tanaman perusak lingkungan. Penyebab kekeringan, rakus terhadap unsur hara tanah, dan sebagainya. Mungkin ada benarnya, tak ada sesuatu pun dapat dilakukan tanpa efek samping. Namun perlu dicatat, bahwa daerah Pematang Siantar, Rantau Prapat, Kisaran, Ujungbatu, Pekanbaru dan Jambi adalah daerah dengan sentra-sentra kebun kelapa sawit sejak dahulu. Hingga kini tak pernah terdengar daerah itu kekeringan, juga tidak menjadi tandus. Justru di Wonogiri dan Tengger yang tak ada kelapa sawit setiap tahun mengalami bencana kekeringan.
Yang keempat, keberadaan kebun kelapa sawit sangatlah berperan membangkitkan perekonomian masyarakat pedesaan. Kebun sawit adalah arena padat karya. Tak terhitung banyaknya warga masyarakat yang mencari penghidupan di perkebunan sawit, sebagai buruh maupun sebagai pegawai. Bagi yang berkeinginan membuka kebun sendiri, secara plasma atau pun mandiri, tak perlu khawatir karena hasil panen dapat dijual ke pabrik perkebunan. Tak sedikit warga pedesaan yang berkesempatan naik haji dengan mengandalkan penghasilan kebun sawitnya, cukup 4 hektar saja. Tentu, bagi petani yang gigih bekerja mensyukuri Nikmat Tuhan. Sedangkan petani yang tak suka bertani, yang gemar bersolek, yang kerjanya hanya bergunjing dan menggerutu, maka baginya tak ada penghasilan kecuali menunggu uluran tangan orang lain. Penting disadari, di desa-desa pun tak kurang banyaknya manusia yang potensial menjadi koruptor, gemar mengambil makanan dari piring orang lain!
Akan tetapi setiap usaha pastilah ada tantangannya. Hidup ini tidak semudah kelihatannya. Di berbagai bidang kehidupan selalu ada kesulitan, tantangan, dan oknum-oknum tukang bikin gara-gara. Dan, sungguh, bertani itu tidak mudah. Tak ada petani gurem menjadi kaya-raya. Kalau bertani itu mudah, sudah kaya raya Bangsa Indonesia itu sejak dahulu kala.
Pada akhirnya penulis hendak memastikan bahwa ketetapan Tanah Air Indonesia sebagai Negara Agraris adalah Sabda Alam. Suka atau tak suka, mau atau tak mau. Pada saat sekarang kita dapat bermanja-manja menolak menjadi bangsa petani, bangga menjadi importir jagung, kedelai dan segala bahan pangan lainnya. Akan tetapi pada titik tertentu nanti, masyarakat dunia akan menuntut Bangsa Indonesia memasok pangan bagi dunia. Jika tetap menolak, maka bangsa lain akan datang untuk menggarapnya. Kemudian akan terjadi ‘tanam paksa’ jilid dua, dimana Bangsa Indonesia terpaksa menjadi babu di tanah airnya, atau terpaksa terjun ke laut dan berevolusi menjadi lumba-lumba….
Untuk Sujiwo Tejo, ia bisa beroleh nafkah dengan mengelus-elus terompetnya. Tetapi untuk kebanyakan Masyarakat Indonesia, tergila-gila bermain musik adalah sumber malapetaka. Jika kita lapar, kita tak bisa mengandalkan terompet, karena terompet tak bisa dimakan!