Senin, 19 November 2012

Pengembangan Industri Kelapa Sawit Ramah Lingkungan

Sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, ditegaskan bahwa “ Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa”(Pasal 4)

Komitmen untuk melaksanakan kegiatan industri berwawasan lingkungan dan berkelanjutan diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya secara efektif dan efisien. Mengambil contoh pengendalian limbah pabrik, Perusahaan telah menerapkan pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke media lingkungan berdasarkan empat prinsip, yaitu: pengurangan dari sumber (reduce), sistem daur ulang (recycle), pengambilan (recovery) dan pemanfaatan kembali (reuse) secara berkelanjutan menuju produksi bersih (Casson, A., 2003 : 24).

Aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem flatbed (Sitorus. 2007: 13-21) yaitu dengan cara :

    Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk. Aplikasi limbah cair memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit.
    Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder (flatbed).
    Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah.

Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi dan limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah (Sitorus. 2007: 8) .

Perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan, karena perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2), yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan. Beberapa ilmuwan melakukan penelitian  dan hasil terbaru menunjukkan bahwa seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh – karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan.

Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, tetapi minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa sawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia – dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu (WI, 2007).

Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan undang-undang dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC). Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2 ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga (Tryfino.2006 : 4)


Gerakan Konsumen Hijau (Green Consumerism)

Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian lingkungan menjadi persoalan tersendiri. Berbagai bentuk perilaku yang mencerminkan ketidak pedulian terhadap lingkungan masih terus berlangsung dengan pelaku yang makin variatif. Tidak hanya sekelompok orang tertentu, tetapi meliputi hampir semua kalangan. Ini bisa terjadi pada level individu rumah tangga, komunitas kecil, atau mereka yang biasa disebut sebagai perambah hutan. Bisa terjadi pula pada level organisasi seperti perusahaan. Atau bahkan pada level intelektual, seperti cendekiawan yang melontarkan ide-ide pembangunan masa depan, tetapi tidak mengagendakan masalah lingkungan yang bisa disejajarkan dengan masalah politik, ekonomi, teknologi, dan kualitas sumber daya manusia.

Pemerintah perlu melakukan reorientasi paradigma pembangunan. Sekarang ini terdapat paradigma baru yang tengah dibangun dan menjadi dasar pijakan pembangunan di banyak negara, yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dipercaya untuk menggantikan paradigma lama misalnya paradigma pertumbuhan ekonomi dan paradigma yang menekankan pemerataan hasil-hasil pembangunan (Zumrotin,1994).

Secara sederhana, pengertiannya adalah pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan dan kepentingan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pengertian ini merujuk pada World Commission on Environment and Development (WECD), sebuah komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan di bawah naungan PBB.

Definisi tersebut memuat dua konsep utama. Pertama, tentang kebutuhan yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, tentang keterbatasan dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Artinya, pembangunan berkelanjutan berperspektif jangka panjang            (alonger term perspective) yang menuntut adanya solidaritas antargenerasi.

Paradigma ini akan semakin dibutuhkan seiring dengan perkembangan globalisasi terutama ketika diterapkan ISO 9000 (standar kualitas suatu barang) dan ISO 14000 (standar kualitas lingkungan). Secara sederhana di dalam ISO 14000 dipersyaratkan audit lingkungan, label lingkungan, sistem pengelolaan lingkungan dan analisis daur hidup. Bila ISO 14000 diberlakukan, suka atau tidak suka, para pengusaha harus menyesuaikan produk-produknya dengan kriteria lingkungan yang dikehendaki oleh ISO (International Standardization Organization).

Paradigma ini menuntut diterapkannya strategi gerakan Konsumen Hijau (konsumen yang berwawasan lingkungan), misalnya, telah menjadi bagian dari kehidupan di negara-negara maju. Dalam beberapa kasus, masyarakat akan dengan kritis menolak tas plastik yang tidak bisa didaur ulang atau jaket yang terbuat dari kulit binatang yang dilindungi.

Gerakan ini hendaknya mensosialisasikan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat (konsumen) untuk menggunakan produk yang tidak mengganggu kesehatan dan merusak lingkungan. Konsumen diposisikan sebagai inisiator, pemberi pengarah, pengambil keputusan, pembeli, bahkan pengguna. Namun masyarakat perlu waspada terhadap penyalahgunaan pemahaman green consumerism (konsumen hijau) oleh para pengusaha untuk kepentingan promosi (Anonymous, 1994).

Masyarakat sebagai konsumen hijau juga perlu waspada terhadap berbagai klaim jenis. Misalnya, terhadap klaim bersahabat dengan lingkungan, karena dalam menjual produk memberikan hadiah produk lain yang ramah lingkungan seperti sepeda dan pemanas air tenaga surya. Sementara, produknya sendiri berpotensi mencemari lingkungan.

Terkait dengan Industri kelapa sawit, Unilever salah satu dari pembeli utama minyak sawit Indonesia, menyatakan mereka akan mulai membeli minyak sawit dari sumber-sumber langgeng yang bersertifikat pada tahun ini dan bermaksud untuk mendapatkan semua minyak sawit yang telah bersertifikat pada tahun 2015 (Unilever.com).

Indonesia produsen kelapa sawit terbesar dunia, berencana untuk menerapkan ukuran-ukuran jelas yang dimaksudkan agar perusahaan-perusahaan kelapa sawit memenuhi persyaratan-persyaratan standar yang keras sebelum memberi label produk-produk mereka dengan produk ramah lingkungan, hal ini dikarenakan Perkembangan industri kelapa sawit yang cepat di Asia Tenggara telah mendapat perlawanan oleh kelompok-kelompok hijau untuk perusakan hutan-hutan alam dan kehidupan satwa liar, demikian pula dengan emisi gas-gas rumah kaca.

The Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO), telah meluncurkan sebuah proses sertifikasi label hijau yang memasukkan komitmen untuk memelihara hutan hujan dan kehidupan satwa liar dan menghindarkan pertikaian dengan masyarakat asli di lingkungan hutan (Anonymous. 2008).  Kelompok hijau dan perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh RSPO akan dapat memasarkan “produk-produk hijau” yang bersertifikat ke dalam pasar global. Malaysia, produsen kelapa sawit terbesar dunia ke-dua, telah memiliki empat lembaga-lembaga sertifikasi yang telah disetujui oleh RSPO.