MEDAN – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Utara (Gapki Sumut) memprediksi harga minyak sawit mentah (CPO) yang terus menurun dalam beberapa waktu terakhir masih berlanjut. Pasalnya penurunan harga yang terjadi akibat penurunan permintaan seiring berkurangnya produksi akan semakin dalam karena masuknya musim dingin di sejumlah negara importir CPO Sumut.
Bendahara Gapki Sumut Laksmana Adyaksa di Medan mengatakan ada beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi penentu harga CPO. Diantaranya permintaan dari luar negeri. Dengan masuknya musim dingin, tentunya aktifitas produksi di negara importir akan berkurang dan diikuti oleh penurunan permintaan bahan baku.
Tren ini diakui Laksamana selalu terjadi di setiap penghujung tahun. Indonesia, sebagai salah satu produsen terbesar CPO, harusnya mampu mengendalikan kondisi tersebut.
“Setelah penurunan saat panen kemarin, kita masih harus menghadapi siklus tahunan berupa menurunnya permintaan akibat negara importir terkena musim dingin. Tentunya kondisi ini akan semakin buruk setidaknya hingga akhir tahun. Kalau harga jatuh saat panen itu harusnya bisa diselesaikan pemerintah, tapi kalau saat ini enggak karena memang datang dari eksternal,” jelas Laksamana, Senin (8/10/2012)
Laksmana mengungkapkan, dalam kondisi saat ini pihaknya hanya berharap harga minyak nabati di luar CPO dapat semakin tinggi. Karena dengan harga yang relatif tinggi seperti sekarang, CPO masih akan menjadi pilihan alternatif bagi konsumen di luar negeri.
“Secara keseluruhan, harga rata-rata CPO pada 2012 diperkirakan hanya berada pada kisaran USD1.050 metrik ton (MT). Lebih rendah dibandingkan tahun yang mencapai USD1.100 per MT. Jadi kita berharap tidak jauh-jauh dari situlah harganya,” tandas dia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara menegaskan jika penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani, yang kini jatuh hingga Rp400 lebih disebabkan karena perilaku instan petani sawit yang pada akhirnya membuat petani terjebak dalam panjangnya rantai pemasaran TBS.
Bendahara Gapki Sumut Laksamana Adyaksa mengatakan harga jual TBS di tingkat pabrik saat ini terbilang stabil meski dengan tren yang menurun. Dengan harga Rp1.300/kg tentunya masih dapat dinikmati petani, meski tak sebaik harga mencapai Rp1.700-Rp1.800 per kg.
Adapun jatuhnya harga TBS hingga ke angka Rp400 tersebut hanyalah persoalan antara petani dan pengumpul, di mana petani tak langsung menjual hasil produksinya ke pabrik melainkan menggunakan jasa pengumpul.
"Harga di kita stabil kok, tapi karena petani masih cenderung menjual TBS-nya melalui pengumpul makanya harganya tertekan. Kalau lewat pengumpul kan tentunya pengumpul mendapat keuntungan yang dipotong dari harga jual TBS petani. Bahkan adakalanya, pengumpul yang dituju mencapai tiga pengumpul. Jadi keuntungan petani dipotong hingga tiga kali. Tragis memang tapi ya salah petani juga," katanya di Medan, Selasa (11/9/2012).
Semakin parahnya penurunan harga TBS petani, diakui Laksamana juga terjadi akibat perilaku petani yang sering menjual hasil produksinya di luar masa panen. Padahal aksi tersebut secara tak langsung menurunkan harga, dan membentuk tren pelemahan.
"Sering terjadi, TBS yang belum seharusnya dijual sudah dilelang petani ke pengumpul. Alhasil ya harganya jeblok. Wong kualitasnya saja belum jelas. Ironisnya, penurunan harga diluar masa panen ini, juga membentuk tren pelemahan di masa panen raya seperti sekarang ini," tegasnya.
Laksamana pun mengingatkan pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis untuk mengatasi hal ini. Pemerintah harus berani menentukan harga terendah TBS, agar petani tetap mau menanam sawit.
"Pemerintah harus bergerak cepat. Stimulus pengusaha agar mau membangun PKS secara lebih menyebar. Bangun infrastruktur, lalu tentukan harga terendah TBS serta turunkan biaya logistik yang juga menggerus pendapatan petani kelapa sawit. Pemerintah tentunya tak ingin koridor Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Sumatera Utara ini menjadi tak efektif karena kekurangan pasokan akibat petani berhenti berproduksikan. Tapi semuanya terserah pemerintah," tutupnya. (gna) (rhs) - Wahyudi Siregar - Okezone
Tren ini diakui Laksamana selalu terjadi di setiap penghujung tahun. Indonesia, sebagai salah satu produsen terbesar CPO, harusnya mampu mengendalikan kondisi tersebut.
“Setelah penurunan saat panen kemarin, kita masih harus menghadapi siklus tahunan berupa menurunnya permintaan akibat negara importir terkena musim dingin. Tentunya kondisi ini akan semakin buruk setidaknya hingga akhir tahun. Kalau harga jatuh saat panen itu harusnya bisa diselesaikan pemerintah, tapi kalau saat ini enggak karena memang datang dari eksternal,” jelas Laksamana, Senin (8/10/2012)
Laksmana mengungkapkan, dalam kondisi saat ini pihaknya hanya berharap harga minyak nabati di luar CPO dapat semakin tinggi. Karena dengan harga yang relatif tinggi seperti sekarang, CPO masih akan menjadi pilihan alternatif bagi konsumen di luar negeri.
“Secara keseluruhan, harga rata-rata CPO pada 2012 diperkirakan hanya berada pada kisaran USD1.050 metrik ton (MT). Lebih rendah dibandingkan tahun yang mencapai USD1.100 per MT. Jadi kita berharap tidak jauh-jauh dari situlah harganya,” tandas dia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara menegaskan jika penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani, yang kini jatuh hingga Rp400 lebih disebabkan karena perilaku instan petani sawit yang pada akhirnya membuat petani terjebak dalam panjangnya rantai pemasaran TBS.
Bendahara Gapki Sumut Laksamana Adyaksa mengatakan harga jual TBS di tingkat pabrik saat ini terbilang stabil meski dengan tren yang menurun. Dengan harga Rp1.300/kg tentunya masih dapat dinikmati petani, meski tak sebaik harga mencapai Rp1.700-Rp1.800 per kg.
Adapun jatuhnya harga TBS hingga ke angka Rp400 tersebut hanyalah persoalan antara petani dan pengumpul, di mana petani tak langsung menjual hasil produksinya ke pabrik melainkan menggunakan jasa pengumpul.
"Harga di kita stabil kok, tapi karena petani masih cenderung menjual TBS-nya melalui pengumpul makanya harganya tertekan. Kalau lewat pengumpul kan tentunya pengumpul mendapat keuntungan yang dipotong dari harga jual TBS petani. Bahkan adakalanya, pengumpul yang dituju mencapai tiga pengumpul. Jadi keuntungan petani dipotong hingga tiga kali. Tragis memang tapi ya salah petani juga," katanya di Medan, Selasa (11/9/2012).
Semakin parahnya penurunan harga TBS petani, diakui Laksamana juga terjadi akibat perilaku petani yang sering menjual hasil produksinya di luar masa panen. Padahal aksi tersebut secara tak langsung menurunkan harga, dan membentuk tren pelemahan.
"Sering terjadi, TBS yang belum seharusnya dijual sudah dilelang petani ke pengumpul. Alhasil ya harganya jeblok. Wong kualitasnya saja belum jelas. Ironisnya, penurunan harga diluar masa panen ini, juga membentuk tren pelemahan di masa panen raya seperti sekarang ini," tegasnya.
Laksamana pun mengingatkan pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis untuk mengatasi hal ini. Pemerintah harus berani menentukan harga terendah TBS, agar petani tetap mau menanam sawit.
"Pemerintah harus bergerak cepat. Stimulus pengusaha agar mau membangun PKS secara lebih menyebar. Bangun infrastruktur, lalu tentukan harga terendah TBS serta turunkan biaya logistik yang juga menggerus pendapatan petani kelapa sawit. Pemerintah tentunya tak ingin koridor Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Sumatera Utara ini menjadi tak efektif karena kekurangan pasokan akibat petani berhenti berproduksikan. Tapi semuanya terserah pemerintah," tutupnya. (gna) (rhs) - Wahyudi Siregar - Okezone