Sabtu, 06 Oktober 2012

Pantaskah Kelapa Sawit disebut Primadona

Kelapa sawit, sejatinya bukan tanaman asli Indonesia. Bermula dari 4 biji kelapa sawit, yang sebenarnya aslinya dari Afrika tersebut dibawa orang Belanda ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Karena tanaman tersebut tumbuh subur dan setelah dicoba di beberapa daerah bisa tumbuh dengan baik maka sejak 1910 kelapa sawit dibudi dayakan secara komersial dan meluas di Sumatra. 

Adalah suatu berkah dari Tuhan YME bahwa ternyata kelapa sawit hanya hidup di daerah tropis sepanjang garis khatulistiwa yang memiliki curah hujan melimpah dan beberapa syarat agroklimat tertentu lainnya. Dan yang memenuhi syarat tersebut adalah Indonesia dan Malaysia, sebagian kecil Afrika dan sebagian kecil lagi Amerika Tengah dan Latin. Sungguh suatu anugerah Tuhan kepada Negara dan bangsa Indonesia. 

Hingga tahun 1980-an, luas pertanaman kelapa sawit Indonesia baru sekitar 200.000 an ha dan kebanyakan adalah tanaman warisan Pemerintah colonial Belanda. Berkat adanya program kredit (PBSN 1 dan 2) serta mulai diperkenalkannya kebun sawit pola PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat- Transmigrasi) pengembangan kelapa sawit sangat pesat, dan hingga tahun 2009 luas perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai 7,2 juta ha, atau pertumbuhan double setiap tahunnya selama 30 tahun. Kebun rakyat, baik pola PIR maupun swadaya meliputi jumlah 40 %. 

Industri Kelapa sawit mempekerjakan kurang lebih 2,8 juta orang on farm (langsung), 1,6 juta di antaranya adalah petani pekebun kecil. Artinya, paling tidak ada 4,8 juta orang yang menjadikan kebun kelapa sawit sebagai tempat menggantungkan hidup. Sementara, 1,2 juta KK atau 3,6 juta orang adalah keluarga karyawan yang bekerja di perusahaan perkebunan, baik swasta maupun BUMN yang tentunya menikmati penghidupan yang layak akibat benefit dan fasilitas yang diberikan perusahaan tempat mereka berkerja. Pengembangan atau ekspansi kebun kelapa sawit baru secara berkesinambungan akan mampu menyerap tenaga kerja secara sinambung pula. Setiap ha kebun sawit yang sudah beroperasi (mature) membutuhkan 0,2 hari kerja orang per hari. Artinya, jika secara nasional bisa mengembangkan kebun baru 400.000 ha setiap tahunnya, maka minimal jumlah tenaga kerja yang bisa diserap adalah 80.000 KK setiap tahunnya. Jika setiap tahun di Indonesia ada sebanyak 200.000 angkatan kerja baru yang masuk pasar tenaga kerja maka sekitar lebih dari 30 % bisa diserap di sector perkebunan kelapa sawit. 

Industri kelapa sawit terbukti kebal krisis. Dalam kondisi keuangan global mengalami krisis dan banyak industry mengalami kebangkrutan, sektor kelapa sawit tetap tegar. Industri yang menghasilkan komoditas untuk bahan makan pokok umat manusia, dan belakangan juga sebagai bahan baku energy nabati- yang juga kebutuhan dasar manusia, tidak akan pernah terpengaruh krisis. Satu-satunya kondisi yang dikhawatirkan adalah jika terjadi penurunan harga komoditas, dan bagi perusahaan hal ini adalah masalah margin yang berkurang. Bagi petani, jika hal tersebut terjadi maka petani akan mengurangi resiko biaya dengan misalnya, menunda perawatan kebun. Oleh karena itu tidak ada PHK massal di industry sawit. 

Bagi Negara, industry sawit merupakan salah satu andalan penerimaan Negara, baik melalui berbagai bentukpajak dan pendapatan ekspor. Tahun lalu, devisa dari ekspor produk minyak kelapa sawit dan turunannya bernilai 15 juta USD. Di saat beberapa industry kinerja ekspornya menurun tajam, sektor kelapa sawit cukup stabil dalam hal kinerja ekspornya. Bahkan, jika dilihat dari total ekspor non migas Indonesia tahun 2008, nilai ekspor produk sawit dan turunannya merupakan yang terbesar dan menduduki urutan pertama. Dengan demikian, peran produk sawit dan turunannya memiliki peran penting dalam struktur neraca perdagangan nasional. 

Yang tidak kalah penting, kalaupun tidak dikatakan yang sangat penting, perkebunan /industry kelapa sawit menjadi pioneer dalam pengembangan wilayah (pedalaman). Banyak kabupaten baru, bahkan propinsi baru muncul karena daya dorong kemajuan akibat adanya perkebunan kelapa sawit. Sejarah mencatat, bahwa kebanyakan kota di Sumatra Utara lahir dari kemajuan yang diakibatkan perkebunan. Bayangkan misalnya, pada awal tahun 1990-an pengusaha perkebunan kelapa sawit yang ingin berinvestasi di wilayah Mamuju (dulu:propinsi Sulawesi Selatan) harus menempuh perjalanan laut (kapal klothok) dari Donggala menuju pantai Mamuju selama 8 jam dan mendarat di sana dengan membawa berbagai perbekalan untuk memulai kegiatan penanaman. Hari ini, perjalanan menuju areal perkebunan di Mamuju dari Palu bisa ditempuh 3 jam dengan mobil. Perkebunan kelapa sawit banyak andil dalam membangun infrastruktur jalan dan jembatan yang bisa digunakan kepentingan umum. Perkebunan kelapa sawit juga membangun sekolah di lingkungan kebun, yang juga bisa untuk masyarakat sekitar kebun. Karena perkebunan kelapa sawit maka tumbuh pasar, pusat perdagangan dan kegiatan pendukung lainnya. Secara otomatis memicu berkembangnya ekonomi local, supplier local, kontrktor local, dsb. Transaksi karyawan beserta keluarga perkebunan dengan pasar local setiap bulannya cukup besar. Siapa menyangka bahwa setelah 20 tahun, wilayah areal perkebunan di Mamuju tersebut menjadi kabupaten baru (Kab Mamuju Utara) dan menjadi propinsi baru (Propinsi Sulawesi Barat). 

Dari aspek kelestarian lingkungan, perkebunan kelapa sawit menjadi solusi penghutanan kembali (reforestasi) areal/hutan yang gundul dan atau terlantar (degraded). Akan sulit faktanya, menanami hutan (reboisasi) dalam jumlah besar dan berhasil. Tapi menanam kelapa sawit dalam satu unit kebun (rata-rata 10.000 ha) dalam setahun adalah hal yang sangat mungkin, dan karena dirawat pasti akan menjadi (hutan) kelapa sawit yang subur. Dari aspek mitigasi emisi gas rumah kaca, kebun kelapa sawit memiliki kemampuan menyerap karbon (carbon sequestration) yang sangat baik. Carbon stock dari perkebunan kelapa sawit juga lebih baik dari hutan terlantar atau hutan sekunder. Dengan demikian neraca karbon perkebunan kelapa sawit tidak kalah dibanding hutan rusak atau hutan sekunder. 

Inikah sehingga kelapa sawit disebut primadona? Primadona, dalam dunia seni pertunjukan selalu dijaga dan diistimewakan, bahkan dibayar lebih dari yang lain karena menjadi kunci meningkatkan penonton dan kelangsungan kelompok seni tersebut. Kelapa sawit sudah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi besar bagi Negara, tetapi belum memadai dalam memperoleh ‘penjagaan’ dan ‘keistimewaan’. Jadi, kelapa sawit belum layak mendapat predikat primadona. 
Wallahu alam. 

Oleh Joko Supriyono 15 Oktober 2010